IDENTITAS SOSIAL DAYAK KALIMANTAN TENGAH
Identitas
Sosial Dayak Kalimantan Tengah
Oleh: Marko Mahin
Pada
masa kini, Dayak adalah nama generik
penduduk pribumi Kalimantan. Dayak
merupakan identitas dan entitas sosial yang berbeda dari Melayu, Jawa, Banjar,
Manado atau Batak. Pada masa lalu, Dayak
artinya sama dengan orang
buas, liar, primitif, pemenggal kepala, kanibal, kafir atau tidak beragama, bodoh, dan berekor seperti
monyet. Pada masa lalu, Dayak adalah hinaan dan ejekan. Namun bagaimanakah
istilah ini muncul? Siapa yang memunculkannya?
Bagaimana nama ini bisa menjadi identitas suku pribumi Kalimantan? Sebagai penanda sosial, identitas ini tidaklah
jatuh dari langit atau ada begitu saja dengan sendirinya. Studi ilmiah yang cermat memperlihatkan bahwa
identitas Dayak adalah hasil dari proses sosial-budaya dalam rentang sejarah
yang panjang.
Proses Penamaan
Dalam literatur
yang terakses,
kata ”Dayak” pertama kali muncul pada tahun 1757 dalam tulisan J. A. van Hohendorff yang berjudul “Radicale Beschrijving van Banjermassing” yang dipakai untuk
menyebut “orang-orang liar di pegunungan” (1862: 188). Tampaknya, kata ini
dipungutnya begitu saja dari cara orang-orang Melayu
pantai menyebut orang pedalaman. J. A.
Crawfurd dalam bukunya yang berjudul “A
Decriptive Dictionary of The Indian Islands and Adjacent Cauntries”(1856:
127) menyatakan bahwa istilah “Dyak” digunakan oleh orang-orang Melayu untuk menunjukan “ras liar” yang tinggal di
Sumatra, Sulawesi dan terutama di Kalimantan.
Beberapa penulis menyatakan istilah Dayak kemungkinan berasal dari
bahasa Melayu “aya” yang artinya penduduk pedalaman (boven beteekent) atau penduduk asli (native) (Adriani 1912: 2, Schärer
1946/1963:1, King 1993:30). Penamaan ini
terus dipakai hingga kini seperti yang dilaporkan oleh Tania Li (dalam Harwell, 2000: 25) bahwa pada
masa kini dalam administrasi resmi pemerintahan di Sulawesi tetap
menggunakan kata Dayak untuk menyebut
suku-suku terasing-terkebelakang yang ada di wilayah pemerintahan mereka.
Orang-orang Melayu pendatang yang tinggal di wilayah pesisir, menggunakan istilah Dayak secara general
untuk menyebut penduduk pulau Kalimantan
yang tidak beragama Islam. Hal itu terjadi karena identitas agama dilihat identik dengan
identitas suku, yaitu Melayu adalah Islam
dan Islam adalah Melayu. Pada sisi lain,
Dayak
diidentikkan dengan inferioritas
dan Melayu superioritas. Akibatnya adalah ketika orang
Dayak menganut agama Islam, diidentikkan
dengan berganti etnis yaitu berhenti menjadi Dayak dan menjadi Melayu, sehingga
dikenal dengan istilah “tame Malayu”, “masuk Melayu” atau “turun Melayu” (Blume 1843:109; van den
Dungen Gronovius 1849: 359; van Hevel
1852: 187, 191).
Karena identitas agama diidentikkan dengan
identitas suku, ada banyak orang Dayak yang
masuk Islam tidak mau lagi disebut atau menyebut diri mereka sebagai orang Dayak (Mallinckrodt,
1928: 12; Ukur 1971:83-84, Hudson 1972: 12;
1967: 25-6, Garang 1974: 116, Daud 1997:1, Tsing 1998: 72). Bahkan tidak mau lagi memakai bahasa
Dayak. Dalam laporan J.J. Ras (1968: 8)
dikatakan bahwa mereka telah ”menyingkirkan bahasa asal mereka, menggantinya
dengan bahasa tuan-tuan Melayu atau jiran-jiran mereka, keluarga-keluarga Dayak atau keseluruhan
perkampungan meninggalkan bahasa asli mereka apabila memeluk Islam”.
Dikemudian
hari, dikotomi
etnis berdasarkan paham religius
yang berasal dari orang Melayu ini dipakai begitu saja oleh pemerintah
Kolonial Belanda untuk kepentingan administrasi
kependudukan, yaitu penduduk non muslim
(Kristen atau Kaharingan) dikategorikan sebagai suku Dayak dan penduduk Muslim
disebutnya sebagai suku Banjar atau Melayu (Mallinckrodt, 1928: I, 9).
Di kalangan masyarakat Dayak sendiri, pada mulanya kata “Dayak” sama sekali bukanlah nama etnis. Hardeland dalam kamus
Dayak -Jerman (1858) sama sekali tidak ada menyebutkan bahwa
kata “Dayak” berarti “Suku bangsa di Kalimantan” seperti yang tercantum dalam
kamus Dayak -Indonesia pada masa kini (Bingan-Ibrahim, 1996: 56). Ia hanya
memakai kata Dayak atau Dajacksch
dalam artian nama etnis pada bagian judul
saja. Judul kamusnya yang tersohor itu:
Dajacksch-Deutsches
Wörterbuch, dikritik oleh Schärer ([1946] 1963:1-2) sebagai
tidak
tepat dan menyesatkan,
karena kamus itu hanya memuat perbendaharaan kata-kata dari satu kelompok Dayak tertentu saja, yakni Dayak .
Menurut Schärer, kata
“Dayak” adalah istilah umum
atau nama generik untuk menyebut semua penduduk asli pulau Kalimantan yang
beragama Kristen dan Pagan (Kaharingan)
tanpa melihat perbedaan adat-istiadat dan bahasa. Walaupun demikian, menurut Ukur (1971:32), Hardeland adalah orang yang pertama
mengintrodusir pemakaian kata “Dayak” dalam artian positif yaitu untuk menandai
suku-suku asli yang mendiami pulau Kalimantan, dimana sebelumnya kata “Dayak”
dipergunakan sebagai kata ejekan atau hinaan.
Dalam kamus Dayak -Jerman yang disusun oleh
August Hardeland terdapat kata dadayak, hadayak, kadayadayak, baradayak (Hardeland, 1858:
83). Anak kecil yang berjalan
tertatih-tatih, agak limbung dan sempoyongan karena baru berjalan berjalan disebut dadayak
atau hadayak.
Orang dewasa yang berpostur tubuh gemuk-pendek, yang berjalan agak limbung dan sempoyongan karena tubuh yang kegemukan
dan kaki yang pendek, juga disebut dadayak
atau hadayak.
Untuk orang dewasa yang berpostur tubuh tinggi, kalau berjalan agak
limbung dan sempoyongan disebut kuhak-kahik
yang artinya goyah meliuk-liuk. Seorang dewasa, walapun tidak bertubuh
gemuk pendek namun masih berjalan tertatih-tatih seperti anak kecil yang baru
belajar berjalan disebut kadaya-dayak. Untuk
sekelompok orang atau banyak orang yang
berjalan limbung atau sempoyongan, misalnya karena baru turun dari perahu atau
kapal motor, disebut bara dayak.
M.T.H. Perelaer
(1870), mencoba menerangkan bahwa gaya berjalan agak limbung
dan sempoyongan itu karena kaki orang Dayak umumnya berbentuk busur (huruf O) dan karena
orang Dayak seumur hidupnya banyak duduk bersila di perahu, karena itu kalau
berjalan jadi tertatih-tatih atau limbung.
Namun pendapat Perelaer itu disanggah oleh Maxwell (1983) dengan
mengatakan bahwa orang Dayak tidak selama hidupnya duduk bersila di perahu yang
kecil, mereka juga mempunyai perahu yang besar yang memungkinkan mereka berdiri
dan tidak duduk bersila terus-menerus.
Apa yang dikatakan oleh Perelaer ada benarnya bila
mengingat pada zaman dulu orang Dayak bila bepergian ke kampung lain dengan
naik perahu dalam waktu yang cukup lama, bisa setengah atau satu harian
penuh. Kaki bisa kesemutan karena duduk
terlalu lama, sehingga ketika tiba di tempat
tujuan, untuk sementara waktu berjalan menjadi tidak normal, agak
sempoyongan, limbung dan tertatih-tatih seperti anak kecil yang baru belajar
berjalan. Hal itulah yang diamati oleh
Perelaer sewaktu menjadi Komandan Benteng Belanda di Kuala Kapuas. Namun
menurut Becker, tidak ada dasar atau alasan untuk menyatakan bahwa kata “Dayak” berasal dari kata dadayak
yang adalah bahasa orang , karena kata Dayak bukanlah berasal dari orang
Dayak sendiri tetapi dari orang yang bukan Dayak (1849: 28).
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian nama Dayak sangatlah bersifat eksonem artinya diberi atau penamaan
oleh orang luar. Pertama-tama oleh orang
Melayu untuk menyebutkan penduduk asli pulau Kalimantan yang tidak beragama
Islam. Kemudian penamaan ini diambil begitu saja oleh pemerintah kolonial
Belanda. Karena itu, pada tahap awal orang
tidak menyebut dirinya Dayak, bahkan tidak merasa bahwa dirinya adalah
orang Dayak. Mereka hanya tahu bahwa
sebutan itu muncul dari mulut orang luar atau para pendatang yang dipakai untuk
merendahkan atau menghina diri mereka.
Bila bertemu dengan orang luar, mereka lebih senang mengidentifikasi diri
berdasarkan nama sungai-sungai dimana kampung atau tanah kelahiran
mereka berada, misalnya oloh
Katingan (orang dari daerah aliran sungai Katingan), oloh
Kahayan (orang dari daerah aliran sungai Kahayan), oloh
Kapuas (orang dari daerah aliran sungai Kapuas) atau oloh Barito (orang dari daerah
aliran sungai Barito).
Identitas Generik
Pada awal abad 20, ketika
semangat nasionalisme berhembus kuat di kepulauan nusantara yang ditandai
dengan kebangkitan rasa kebangsaan.
Kelompok terdidik Dayak, tidak luput dari semangat ini. Mereka dengan sadar mengadopsi kata Dayak dan
membangun kebanggaan menjadi orang
Dayak. Istilah Dayak
yang pada masa lalu selalu digambarkan sebagai timbunan kekafiran, sarang
keprimitifan dan kumpulan orang bodoh, dikibarkan menjadi panji perjuangan.
Dayak yang semulanya dipandang hina dan nista, menjadi mulia dan berharga.
Pada
tahun 1919, mereka mendirikan satu
organisasi sosial politik berbasis etnis yang bernama Pakat Dayak atau Sarekat
Dayak. Sejak saat itu, nama Dayak
dipakai oleh orang Dayak sendiri sebagai nama generik untuk mempersatukan semua suku-suku di Kalimantan
yang bukan Melayu atau Banjar. Identitas Dayak dipakai untuk memperjuangkan hak-hak
sosial-politik, dibawa masuk ke pentas perjuangan politik nasional, sejajar
dengan identitas lain. Sebelum Perang
Dunia Kedua, sudah tampak ada 10
organisasi yang memakai nama Dayak antara lain Pakat Dayak atau Sarekat Dayak, Koperasi
Dayak, Jong Dajak, Comite Kesedaran
Bangsa Dajak, Kaoem Wanita Dayak dan Kepandoean Bangsa Dajak. Sesudah Perang Dunia
Kedua, misalnya Sarikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) atau Partai Persatuan
Dayak (PPD).
Sebagai
identitas generik, identitas Dayak bukanlah identitas agama. Bagi orang Dayak, identitas suku tidaklah identik dengan
identitas agama. Bagi orang Dayak identitas suku berdampingan harmonis dengan
identitas agama. Beragama Islam, Kristen, Hindu atau Budha tidak identik dengan
berhenti menjadi Dayak. Bagi orang Dayak, agama tidaklah memisahkan darah
dan tidaklah mengubah etnik seseorang.
Dayak tetap Dayak kendatipun ia beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, atau
Budha.
Dayak
sebagai identitas bersama ini meruntuhkan imajinasi orang Melayu pesisir dan pemerintah kolonial Belanda yang mencitrakan
Dayak sebagai orang-orang non Islam. Imajinasi
keji yang mempertentangkan Dayak dan Islam, haruslah rontok ketika berhadapan
dengan Dayak Bakumpai di Kalimantan Tengah dan Selatan, Dayak Tidung di
Kalimantan Timur, dan Dayak Embau di Kalimantan Barat, yang adalah masyarakat
Dayak yang beragama Islam.
Refleksi Masa Kini
Penelusuran sejarah atas identitas sosial Dayak di
Kalimantan Tengah memperlihatkan bahwa secara historis pada mulanya menjadi
Dayak itu hina dan ternista. Konstruksi sosial dengan keji memposisikan Dayak
sebagai kafir dan inferior. Namun
kemudian orang Dayak sendiri memungut nama ejekan dan hinaan itu sebagai panji
perjuangan dan identitas sosial untuk mengangkat harkat dan martabat diri.
Identitas
generik penduduk asli Kalimantan ini bukanlah identitas karbitan atau diada-adakan sesuka hati, tetapi
merupakan hasil pergumulan sosial sekelompok
orang yang dengan sadar, tanpa malu dan tanpa ragu menyebut dirinya “Dayak”,
walaupun pada mulanya kata “Dayak” itu merupakan istilah ejekan dan hinaan. . Dayak
akhirnya menjadi identitas generik yang mempersatukan semua orang Dayak tanpa
membedakan agama. Identitas generik ini adalah kearifan lokal untuk keluar dari
jebakan oposisi biner kolonial yang mempertentangkan Dayak dan Islam. Identitas
luhur ini seharusnya dirawat dengan cermat agar tidak tumpas-musnah mengingat
pada masa kini Kalimantan Tengah telah
menjadi Bumi Pancasila (MM).
Keterangan: Telah dimuat di Harian Kalteng Pos, Kamis, 9 Januari 2014.
Thanks pak..sangat mencerahkan...GBU.
BalasHapusBoleh saya kutip bagian atasnya Pak Untuk jadi referensi tulisan . Dan saya sertakan link ke Blog bapak .
BalasHapus