Postingan

Menampilkan postingan dari 2022

Catatan Perjalanan

Gambar
KOPIAH TANPA AGAMA:   STRATEGI DAN ADAPTASI BUDAYA DI TANAH ANGKOLA (Oleh: Marko Mahin) Berkunjung ke Padangsidimpuan dan Sipirok, serta bertemu dengan sekelompok masyarakat yang menyebut dirinya orang Angkola, mengajar saya bahwa Batak itu tidak selalu keras, kasar, dan meledak-ledak, serta tidak harus beragama Kristen. Logat bahasa orang Angkola t erdengar lebih lembut bila dibandingkan orang Toba , namun terdengar lebih tegas jika dibandingkan dengan orang Mandailing. Orang Angkola umumnya beragama Islam dan sebagian kecil beragama Kristen. Masuknya agama Islam ke Padangsidimpuan dan Sipirok selain melalui jalur damai perdagangan juga melalui jalur pedang pasukan Padri. Agama Kristen masuk melalui jalur perkebunan kopi milik pemerintah kolonial Belanda. Gerrit van Asselt, seorang missionaris dari Jemaat Ermelo, Belanda, terlebih dahulu menjadi opkooper atau pembeli kopi di pasar Sipirok, sehingga dapat melakukan baptisan pertama atas dua orang Batak pada 1861. Hadirnya agama Isl
Gambar
Perjumpaan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dengan konsepsi nasionalisme salah satunya melalui keberangkatan para anak muda untuk bersekolah di luar pulau Kalimantan; Makassar, Surabaya, Batavia dan Bandung. Adalah Mahir Mahar, anak Dayak kelahiran Kampung Pangkoh Kahayan Muara, setelah menamatkan Meer Uit gebreid Lager Onderwijs (MULO) di Banjarmasin, pada tahun 1930-an pergi ke Makassar untuk sekolah di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) atau Sekolah Pendidikan Pribumi untuk Pegawai Negeri Sipil. Ketika di Makassar, Mahir Mahar muda giat menjadi aktivist INDONESIA MOEDA yaitu organisasi pemuda yang diresmikan tanggal 31 Desember 1930, merupakan penggabungan antara organisasi Jong Java, Pemuda Indonesia dan Jong Sumatera. Sebagai organisasi dengan haluan nasionalistik ini, Indonesia Moeda secara tegas mengakui Sumpah Pemuda, dan menjunjung bahasa Indonesia dan lagu Indonesia Raya, dan bendera Merah Putih sebagai identitas organisasi ini. Walaupun organisasi ini

KAMPUNG PALINGKAU YANG MEMUKAU

Gambar
  Kampung yang terletak di bagian kiri mudik Sungai Murong itu bernama Palingkau. Dalam peta Schwaner (1853)  kampung ini bernama Kampung Sungei Palingkau. Tampaknya pemukiman awal didirikan di sekitar muara Sungei Palingkau, sungai kecil yang bermuara di Sungai Murong.  Palingkau dalam bahasa Dayak Ngaju adalah nama jenis bambu. Mungkin karena ditumbuhi banyak bambu Palingkau maka sungai diberi nama Sungei Palingkau yang akhirnya menjadi nama kampung. Missionar Becker tiba di kampung ini pada tahun 1840. Ia menggambarkannya sebagai “ kampung sepi yang mirip reruntuhan“ (Kriele 1915: 42). Ia menyebutnya demikian karena banyak rumah-rumah yang tidak terawat karena para pemiliknya tinggal lama di sawah yang letaknya jauh dari kampung. Pada tahun 1857, atas perintah dari Gezahebber (Penguasa Sipil Belanda) dilakukan penataan kampung.  Dimulai dengan pembangunan jalan kampung dengan lebar 11 kaki atau sekitar 3,6 meter.  Di sebelah kiri dan kanan jalan di tanam pohon kelapa dan pinan

KEHIDUPAN RUWET MISSIONARIS HUPPERTS (2)

Gambar
Pada 1841, Hupperts juga pernah mencoba merintis pembukaan pos Pekabaran Injil di Gohong, Kahayan (sekarang desa Gohong, Pulang Pisau). Di sana ia mendapat tantangan keras dari Tamanggung Singa Pati , kepala suku Dayak yang berkedudukan di Petak Bahandang-Buntoi . Tamanggung Singa Pati  tersinggung karena Hupperts lewat begitu saja melintas kampungnya dan berencana mendirikan sekolah di Gohong yang terdapat dibagian hulu, padahal ia sudah terlebih dahulu menghadap Residen di Banjarmasin meminta agar dikirimkan guru dan didirikan sekolah di tempatnya.  Dengan pengaruhnya, ia menghalangi dan mempersulit pekerjaan para missionaris, sehingga pada tahun 1845 para misionaris pergi keluar meninggalkan Gohong mencari tempat lain yang lebih terbuka dengan kedatangan mereka (Von Rohden, Geschichte, 60, Witschi 1942: 16). Selepas wafatnya Berger pada 1845, pelayanan di stasi Bethabara diserahkan kepada Missionar Hupperts yang sebelumnya melayani di Sungei Apui . Selama melayani di Bethabara atau

KEHIDUPAN RUWET MISSIONARIS HUPPERTS (1)

Gambar
    JOHANN GOTTFRIED HUPPERTS atau HUPPERTS adalah sosok penting dalam sejarah awal pekerjaan missi di wilayah Borneo Selatan dan Tengah pada abad 19. Setelah tinggal beberapa saat di Batavia, pada tanggal 3 Desember 1836 , bersama dengan  missionar Becker dan Kr ü smann, Hupperts tiba di Banjarmasin (Kriele 1912: 22). Tidaklah seperti yang dikatakan oleh Fridolin Ukur (1960:16), mereka tidak langsung ditempatkan atau bekerja di pedalaman.  Mereka tinggal sekitar satu setengah tahun di Banjarmasin sebelum menetap di tengah orang-orang Dayak di pedalaman Borneo Tengah. Hupperts,  dalam buku hariannya ( tagebuch ) yang sampai sekarang tersimpan rapi di perpustakaan Wuppertal-Jerman,  mencatat bahwa pada hari Minggu 15 Januari 1837 , missionar Barnstein telah membaptis 3 orang perempuan yaitu: Seorang perempuan Dayak istri dari seorang  S ersan  M ayor  Belanda  dengan nama baptis Diederika Cornelia. Seorang perempuan Melayu istri seorang pegawai Belanda van der  Linden diberi

KAPAL UAP

Gambar
  Kapal Uap ( Stoomboot ) adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat Dayak. Sebelumnya mereka hanya mengenal kapal layar yang digerakan angin dan perahu sampan ( jukung ) yang bergerak karena tenaga dayung manusia.  Mereka menyebutnya Kapal Hasep yang secara hurufiah berarti "Kapal Berasap". Tampaknya penamaan itu karena mereka melihat asap hitam tebal yang keluar dari cerobong asap kapal.  Pada saat Kapal Uap pertama kali datang ke Sungei Murong, di wilayah Pulau Petak, orang Dayak Ngaju memandangnya penuh kekaguman. Mereka heran melihat  perahu besar yang dapat bergerak cepat tanpa ada tangan manusia menggerakkannya.  Istri Dambong menyembelih dan mengorbankan seekor ayam jantan untuk menghormati kedatangan kapal itu di kampung mereka (BRM 1846: 402). Sementara di Bukit Rawi, Kahayan, Kepala Suku meminta seekor kerbau kepada Residen  sebagai kurban kepada dewata air (jata) yang marah  karena Kapal Uap Tjipanas masuk ke Sungai Kahayan (MRZG  Februari 1857:31).

MENGENANG BETHABARA

Gambar
  Sangat gembira karena mendapat satu buku dalam bahasa Jerman dengan judul “ Neuere Geschichte der Evangelischen Mission-Anstalten zu Bekehrung der Heiden in Ost-Indien: aus den eigenhändigen Aufsätzen und Briefen der Missionarien ” (Sejarah Terkini Pendirian Misi Injili untuk Pertobatan Bangsa-Bangsa di Hindia Timur: dari  Tulisan Tangan dan Surat Para Missionaris).   Buku yang dicetak pada tahun 1840 ini sangat penting bagi saya karena memuat Surat dan Laporan ( Briefe und Berichte ) dari Misionar Julius Berger (selanjutnya disebut Berger) yang diutus oleh Dänisch-Halliche Mission (DHM), satu lembaga misi yang berpusat di Denmark untuk melakukan Pekabaran Injil di Kalimantan. Tampaknya pada waktu itu terdapat semacam kerjasama antara DHM dan Rheinische Missionsgesellschaft   (RMG) atau Zending B armen.   Fridolin Ukur (1960: 19, 1971:88) menyebutkan bahwa Berger melayani di satu stasi (pangkalan pekabaran Injil) yang bernama Bethabara.  Stasi pertama yang

PAWANG HUJAN

Gambar
  Perihal "pawang hujan" itu sesuatu yang lumrah, lazim atau biasa di negeri bekas jajahan ini. Bahkan dengan sangat baik di-bahasa-kan sebagai "kearifan lokal" atau "kebudayaan" kita. Karena urusan penting, saya pernah mampir di rumah seorang teman yang sedang mengadakan hajatan perkawinan anak perempuannya. Ia seorang yang "well educated" lulusan universitas Luar Negeri. Namun, secara tidak sengaja saya melihat di atap rumahnya tergeletak kain basahan dan celana dalam. Yang tidak lazim itu adalah ketika sang pawang menampilkan diri sehingga membuat para bule [dan kita semua] terherman-herman. Konon menurut SOP-nya, pawang itu mestinya menyembunyikan diri. Tidak elok mempertontonkan diri di depan orang banyak. Karena di atas langit masih ada langit. Permasalahannya, negeri ini perlu tontonan atau hiburan, agar rakyat yang sulit membeli minyak goreng ini lupa akan penderitaannya, agar orang-orang yang tanah-airnya di kelilingi jutaan pohon k

RITUAL POLITIK DI TITIK NOL

Gambar
  Bagaikan pertunjukan teater. Presiden Jokowi menerima satu persatu utusan dari 34 provinsi yang membawa air dan tanah dari tempat masing-masing. Penyiar televisi yang meliput kegiatan menyebutkan acara itu sebagai prosesi Penyatuan Tanah dan Air Nusantara. Air dan tanah disatukan dalam satu wadah semacam gentong yang disebut Bejana Nusantara. Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menyebutkan kegiatan tersebut sebagai “bentuk kebhinekaan dan persatuan” bangsa Indonesia. Dari pinggiran Kota Palangka Raya, kota yang pernah digadang-gadang oleh Presiden Soekarno menjadi Ibu Kota Negara, saya menatap nanar tayangkan kegiatan yang disebut “prosesi” itu. Bersamaan dengan itu, pikiran saya mengembara ke tulisan Clifford Geertz (1980) yang berjudul “Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali". Dalam buku itu, Geertz mengatakan bahwa kekuasaan simbolik itu sangat penting dan untuk membangun kekuasaan semacam itu perlu dilakukan berbagai macam upacara, prosesi atau ritual. D

Hausmann Baboe dalam Koran Sin Tit Po

Gambar
  Dalam Sin Tit Po 16/17 Desember, surat kabar yang diterbitkan pada 2 Desember  1929  oleh sejumlah warga  Tionghoa-Indonesia  di  Surabaya , diberitakan bahwa Hausmann Baboe sebagai ketua Dajaksbond di Kuala Kapuas, Kalimantan sedang berada di Surabaya.  Dalam wawancaranya dengan wartawan surat kabar itu Hausmann Baboe menjelaskan bahwa orang Dayak bukanlah orang liar yang belum mengenal peradaban. Menurutnya itu adalah pandangan yang salah karena sebagian besar orang Dayak sudah beradab dan memiliki agama, baik Kristen maupun Islam. Orang Dayak tidak ingin terkebelakang, mereka ingin sama seperti orang-orang yang berada di pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia. Sekarang orang Dayak telah mengorganisir satu perkumpulan  yang disebut Dayaksbond , yang kini beranggotakan ribuan orang. Perkumpulan ini bertujuan mempercepat kemajuan orang Dayak. Sejumlah sekolah telah didirikan oleh Persatuan Dayak, salah satunya H.I.S.P. di Boven Dayak dan semacam sekolah Inlandsche kelas