Postingan

Menampilkan postingan dari 2016

Pawel Kuczynski

Gambar
SEORANG BUDAK DAN BELENGGU EMASNYA Gambar yang menampar. Lukisan satir yang menyindir. Ilustrasi yang provokatif. Itulah sederet kalimat yang terucap ketika menatap “Slave Painting Chains Gold,” yang dihasilkan oleh Pawel Kuczynski, seorang pelukis hebat dari Polandia. Saya menyebut karya-karya Pawel Kuczynski sebagai “Lukisan-Lukisan Pembebasan”, karena ketika saya menatap lukisan-lukisannya yang nyinyir, berkesan cerewet itu, maka saya dipaksa untuk bertanya, “Apa yan g salah dengan dunia ini?” Ketika seseorang berani bertanya, itulah awal pembebasan. Lihatlah lukisan-lukisannya tentang smartphone dan sosial media....amboi sangat menohok ulu hati dan menyengat kesadaran kita. Kita dibuat terpojok dan sangat malu, tapi dengan cara yang cerdas. “Slave Painting Chains Gold,” adalah salah satu lukisan Pawel Kuczynski yang sering saya pakai dengan tujuan untuk membangun kesadaran dalam benak para murid. Lukisan ini berbicara tentang hitam-legam kehidupan seorang budak-bel
Gambar
MENTALITAS SI PALUI : LEBIH BAIK BODOH DARI PADA MATI Si Palui adalah sosok Pin-Pin Bo (Pintar-Pintar Bodoh) yang hidup dalam cerita jenaka orang Banjar. Selain sebagai cerita lucu, Si Palui juga merupakan cerminan karakter atau mentalitas seseorang yang cenderung pintar tapi bodoh. Karena itu, di kalangan penutur bahasa Banjar, ada satu kalimat yang menunjukkan tingkah laku, kararkter atau mentalitas ala Palui yaitu “mamalui”, contoh dalam kalimat, “Mamalui ja gawian  sidin tu.” Dalam beberapa cerita Si Palui digambarkan sebagai pribadi kocak, yang piawai membangun pembenaran-pembenaran atas kekonyolan yang ia lakukan. Salah satu cerita yang menunjukkan karakter itu adalah tentang bagaimana ia meminum air kobokan yang melahirkan filosofis melegenda ala Palui yaitu “Baik unda bungul dari pada unda mati” (Lebih baik aku bodoh dari pada aku mati). Agar semua kita bisa menikmati, cerita humor ini saya terjemahkan secara bebas ke bahasa Indonesia. Si Palui diundang oleh tetangg
Gambar
MANUSIA BERMARTABAT DAN MANUSIA BUSUK Manusia bermartabat itu berkata, "Lebih baik MATI dari pada BODOH."  Baginya untuk apa HIDUP tetapi sebenarnya MATI. Mati dalam berfikir, berbicara, berkehendak dan bertindak. Lebih baik mati mulia, daripada hidup nista dalam alam KEBODOHAN. Manusia busuk itu berkata, "Lebih baik BODOH dari pada MATI". Untuk itu ia siap menjelata sebagai hamba, tunduk merunduk bagaikan cecunguk. Selalu siap diarahkan bagaikan seekor kerbau dungu. Bak seekor ular, dengan tak tahu malu, d iam-diam ia berkelindan,bergerak licin di lumpur kebohongan, menjalar di antara tumpukan kepalsuan. Mulutnya mendesiskan kesepakatan jahat dan siap menganga untuk menyemburkan kata-kata berbisa atau retorika dusta. Lidah panjang bercabang, yang pekat dengan lendir kebohongan, siap terulur untuk menjilat telapak kaki, bahkan lobang pantat si orang kuat. Tak ada lagi martabat atau harga diri. Semua itu sampah, yang nantinya dipakai dalam adegan

LAHIRNYA GENERASI TERDIDIK DI KALIMANTAN TENGAH

Gambar
LAHIRNYA GENERASI TERDIDIK  DI KALIMANTAN TENGAH Oleh: Marko Mahin Perahu yang ditumpangi oleh Johann Heinrich Barnstein itu melaju tenang di atas riak Sungai Pulau Petak. Matahari sore yang menyengat mengiringi langkah kakinya naik ke satu kampung yang bernama Sungei Apui.  “ Oloh baputi ! Oloh baputi ! Oloh baputi !”, demikian teriak anak-anak yang berlari kecil di belakangnya.  Barnstein memang “ oloh baputi ” atau “orang kulit putih”.  Ia berasal dari Jerman. Semangat penginjilan telah mendorong dirinya datang ke Borneo yang menurut dongeng adalah pulau manusia buas dan tak beragama. Di Banjarmasin ia diberitahukan bahwa orang-orang itu disebut sebagai orang Dayak atau orang Biaju. Hari itu 15 Juli 1835, ia telah menjejakkan kakinya di kampung orang-orang Dayak atau Biaju.  Ia duduk di rumah Raden Labih, pimpinan orang Dayak di kampung itu. Namun sayangnya Raden Labih tidak ada di kampung.  Barnstein disambut oleh anaknya yang bernama Ambo.  Bar