Postingan

Menampilkan postingan dari Agustus, 2023

GROOT DAYAKSCH HUIS, RUMAH BESAR ORANG DAYAK (5)

Gambar
  (Sumber:  Insulinde in  W oord en  B eeld ,      door  H enri  Z ondervan ,  “ Groot  D ayaksch  H uis ” ,  te  G roningen  B ij  J.  B. Wolters  U . M.  1915)     3. PERBURUAN KEPALA Kebiasaan berburu kepala, yang terdiri dari pergi menyerang orang, membunuh mereka dan mengambil serta menyimpan tubuh kepala mereka, tersebar luas di seluruh Kepulauan India; bahkan jejak-jejak kebiasaan ini dapat ditemukan di antara orang-orang yang sekarang sudah bebas dari kebiasaan ini, seperti di Jawa. Seperti yang ditunjukkan oleh Profesor Wilken, kebiasaan keji ini berkaitan erat dengan pengorbanan untuk orang mati, karena diyakini dengan kuat bahwa jiwa-jiwa mereka yang tengkoraknya telah diambil diwajibkan untuk melayani jiwa si pembunuh di alam baka.      Kepala, dan lebih khusus lagi tengkorak, dianggap sebagai tempat kedudukan jiwa. Pemujaan tengkorak yang dihasilkan dari kepercayaan ini sekarang menyebabkan orang memburu tengkorak tidak hanya dalam kasus kematian, tetapi juga pada banyak

GROOT DAYAKSCH HUIS, RUMAH BESAR ORANG DAYAK (4)

Gambar
(Sumber:  Insulinde in  W oord en  B eeld ,      door  H enri  Z ondervan ,  “ Groot  D ayaksch  H uis ” ,  te  G roningen  B ij  J.  B. Wolters  U . M.  1915)   2. PANDANGAN KEAGAMAAN      Suku Dayak hampir semuanya penyembah berhala, dan agama mereka disebut animisme atau pemujaan roh. Karena mereka hidup terutama dari pertanian, yang sangat bergantung pada iklim, dan karena iklim juga memiliki pengaruh pada kondisi fisik mereka dengan menyebabkan penyakit, tidak mengherankan jika dalil-dalil agama mereka mencerminkan rasa ketergantungan mereka pada alam sekitarnya. Oleh karena itu, kaum Dayak menganggap diri mereka hanya memiliki tempat yang sangat sederhana di dunia alam; karena menurut konsepsi mereka sendiri, mereka hanya sedikit berbeda dengan tumbuhan, hewan, dan benda-benda mati. Namun semua ini memiliki, seperti diri mereka sendiri, jiwa, dan jiwa-jiwa ini memiliki sensasi yang sama dengan manusia. Jiwa-jiwa juga memiliki kemampuan untuk meninggalkan selubung materi mer

GROOT DAYAKSCH HUIS, RUMAH BESAR ORANG DAYAK (3)

Gambar
Bahkan, pakaiannya juga harus mencakup tato, karena sebagian besar menghilangkan kesan ketelanjangan. Tato ini terdiri dari menusuk kulit dengan berbagai gambar yang tidak bisa dihancurkan dan berfungsi sebagian sebagai ornamen, sebagian lagi untuk membedakan suku-suku yang berbeda (gbr. 2). Meskipun ini adalah operasi yang sangat menyakitkan, yang dilakukan selama bertahun-tahun secara berkala, hal ini terjadi di semua suku, kecuali mungkin suku Bekatan. Memang benar bahwa banyak wanita yang merasa muak setelah percobaan pertama, tetapi banyak juga yang dengan sabar menahan rasa sakit yang parah karena, menurut agama Dayak, hanya mereka yang ditato dengan benar yang diizinkan untuk mandi di sungai Telang Djoelan di alam baka, di mana manik-manik yang paling indah ditemukan di bagian bawahnya, dan wanita sangat suka memiliki banyak manik-manik yang indah. Yang juga umum dilakukan adalah mengolesi seluruh tubuh bagian atas dengan pewarna kuning tua dan mewarnai kaki, kuku, dan ujung

GROOT DAYAKSCH HUIS, RUMAH BESAR ORANG DAYAK (2)

Gambar
Profesor Nieuwenhuis , ahli terbaik mengenai suku Dayak, membagi mereka ke dalam dua kelompok: pertama, sejumlah kecil masyarakat pemburu, yang dikenal dengan nama Punan, Bukat,   Beketan, dan lain-lain, yang mengembara di pegunungan, di daerah sumber sungai-sungai besar, sebagai pengembara, yang hampir tidak bertani, dan hidup dari berburu, menangkap ikan, dan hasil hutan. Mereka mungkin adalah penduduk tertua di pulau ini; kedua, para petani, yang memiliki rumah permanen dan sekali lagi terdiri dari dua kelompok besar. Dari segi bentuk tengkorak dan ciri-ciri fisik lainnya, serta perilaku dan adat istiadat, bahkan secara historis, kedua kelompok ini sangat berbeda. Kelompok pertama adalah kelompok Bahau dan Kenyah di bagian Timur Borneo, di hulu Mahakam dan sungai-sungai lain yang mengalir ke pesisir Utara atau Selatan; kelompok kedua adalah Ot Danum dan Siang di Melawi Hulu, Kahayan Hulu dan Barito Hulu. Masing-masing terdiri dari banyak suku; salah satu yang paling penting dari k

GROOT DAYAKSCH HUIS, RUMAH BESAR ORANG DAYAK (1)

Gambar
(Sumber: Insulinde in W oord en B eeld ,     door H enri Z ondervan ,   “ Groot D ayaksch H uis ” , te G roningen B ij J. B. Wolters U . M. 1915) PENDAHULUAN.           Dari sekian banyak suku yang mendiami Insulinde (Nusantara), mungkin tidak ada yang namanya dikenal luas seperti suku Dayak di Kalimantan. Namun, sampai saat ini, tidak ada satupun di Kepulauan Sunda Besar yang memiliki informasi yang dapat dipercaya tentang populasinya, berdasarkan pengamatan yang menyeluruh, seperti Kalimantan. Semua orang tahu bahwa "pemburu kepala" tinggal di pulau ini, tetapi itu juga menghabiskan sebagian besar pengetahuan orang Belanda tentang penduduknya. Namun, hanya sedikit orang yang tahu bahwa, di satu sisi, penyiksaan ini relatif jarang terjadi di Borneo saat ini dan, di sisi lain, hal ini pernah tersebar luas di sebagian besar Kepulauan Hindia dan masih jauh lebih umum terjadi di beberapa pulau lain daripada di Borneo saat ini! Di sini, upaya agama Kristen dan pemerinta

APAKAH ORANG DAYAK ITU BODOH?

Gambar
  (Sumber: S i nt Fidelisklokje: Gratis orgaan voor de leden van het seraphijnsch werk der Heilige Missen , No. 1, 1 Januari 1933, dalam bahasa Belanda) Jika mereka benar-benar percaya dengan kata-kata mereka, maka ya, orang Dayak adalah orang paling bodoh di dunia, mereka bahkan bukan manusia, mereka lebih mirip dengan babi hutan. Seberapa sering saya mendengar hal ini dari mulut mereka sendiri, terutama ketika mereka terlalu banyak meminum minuman buatan mereka sendiri, tuak.     Apakah orang Dayak itu bodoh? Kita harus percaya begitu, jika kita mempertimbangkan betapa rendahnya tingkat peradaban mereka. Mereka tidak memiliki sejarah dan literatur, seperti kebanyakan suku kuno lainnya; mereka bahkan tidak memiliki tulisan, tidak ada alfabet. Apa yang kita ketahui tentang sejarah mereka, orang lain harus meneliti dan mengumpulkannya untuk mereka. Sedikit yang mereka ketahui tentang kehidupan nenek moyang mereka didasarkan pada tradisi yang tidak jelas, yang tidak banyak berguna

𝐆𝐄𝐃𝐔𝐍𝐆 𝐁𝐈𝐎𝐒𝐊𝐎𝐏 𝐏𝐀𝐍𝐀𝐋𝐀 𝐓𝐇𝐄𝐀𝐓𝐄𝐑 (2)

Gambar
Gedung Bioskop Panala tidaklah dirancang dan dibangun oleh warga sipil, tetapi dirancang dan dibangun oleh para anggota TNI Angkatan Darat  Kodam/XI Tambun Bungai, secara khusus dari Detasemen Zeni Bangunan (Denzibang). Dalam buku Pantjawarsa Supersemar yang diterbitkan pada tahun 1972 dilaporkan bahwa hingga tahun 1971,  telah dilakukan “Operasi Bhakti”  yaitu dalam usaha membantu mensukseskan pelaksanaan Pelita Daerah, Kodam XI/Tambun Bungai telah melaksanakan beberapa Projek Daerah dengan hasil antara lain: Gedung Bioskop 'PANALA THEATRE". Gedung Wanita dimana pembiayaanya dipikul bersama antara Kodam XI/Tambun Bungai dengan Pemerintah Daerah. Gedung "OPERATION-ROOM" PEMDA. masih dalam taraf pelaksanaan. Gedung Sanggar Pramuka, masih dalam taraf penjelesaian. Gedung Mesdjid, masih dalam taraf penjelesaian. Gedung Perpustakaan "TAMBUN BUNGAI". Laporan yang disampaikan oleh Kol. Infantri J.M. Soerachman itu senada dengan laporan yang disa

BIOSKOP PANALA (1)

Gambar
Bioskop Panala “Bioskop belum ada di sini. Palangka Raya hanya berupa hutan ‘tumih‘ dan ‘garunggang‘ dan belukar ‘masisin‘. Demikian sederet kata dari Badar Sulaiman Usin, penyair Kalimantan Tengah, untuk menggambarkan betapa sepi kota Palangka Raya pada tahun 60-an. Diperkirakan sekitar awal tahun 1970, tepat di sudut pertemuan Jalan Kinibalu dan Jalan Tangkiling (sekarang Jalan Tjilik Riwut), tidak jauh dari Bundaran Besar yang masih berupa kubangan air, berdirilah salah satu simbol peradaban modern di kota Palangka Raya yaitu "Gedung Bioskop Panala Theater". Pada masa sekarang kawasan ini telah berganti nama menjadi Palangka Raya Mall (PALMA). Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Tengah dengan sengaja membangun gedung bioskop yang diberi nama “Panala” sebagai sarana dan tempat hiburan bagi masyarakat Kota Palangka Raya. Secara literal dalam bahasa Dayak Ngaju, “Panala” berarti “bulan”. *** Sebenarnya pada tahun 60-an sudah ada cikal-bakal gedung bioskop yaitu

BUKIT TINDUH

BUKIT TINDUH: (SEJARAH LAMA KOTA PALANGKA RAYA) BUKIT HINDU adalah satu nama kawasan di kota Palangka Raya. Ada banyak orang yang sesat berpikir bahwa dinamakan demikian karena di wilayah itu terdapat Pura Hindu Bali. Menurut Bapak TT Suan (2009) kawasan yang jalannya banyak menggunakan nama gunung ini pada mulanya oleh Bapak Tjilik Riwut diberi nama BUKIT TINDUH yang artinya kawasan yang indah-permai, sejuk dan asri. Pendapat ini sangat masuk akal mengingat kawasan tetangga dinamakan BUKIT RAYA yang artinya kawasan besar nan megah, BUKIT TUNGGAL yang artinya kawasan khusus tersendiri. Perubahan itu terjadi saat dibuat Surat Keputusan tentang penetapan status tanah dan pemberian nama kawasan. Staff bagian ketik-mengetik berpikir nama BUKIT TINDUH itu salah tulis dan menggantikannya dengan nama BUKIT HINDU. Jadi nama itu sebenarnya lahir dari hiper-koreksi, keterlanjuran, tidak sempat diralat, hingga sekarang ini. Hal ini pernah terjadi dengan seseorang teman yang bernama KAHA

MAMEH AND HUMUNG AMONG THE NGAJU DAYAK

Gambar
  MAMEH AND HUMUNG AMONG THE NGAJU DAYAK Ada beberapa diksi untuk menyebut "dungu" dalam bahasa Dayak Ngaju antara lain "mameh, bureng, paleng, buntat, humung". Tentu saja itu bukan sekedar "kata", di dalamnya terdapat "konsep" atau "pengertian" tentang apa itu "dungu" (fool). Saya ingin menelusuri konsep "dungu" melalui satu foklore orang Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah yaitu Bapa Palui. Melalui foklore Bapa Palui ini kita dapat mengetahui kenapa seseorang itu disebut "mameh, paleng, buntat, humung". *** Bapa Palui adalah seorang suami yang tidak hanya pemalas, dan naif, tetapi juga bodoh. Suatu hari, di pinggir hutan istrinya mendapat seekor rusa yang terjebak dalam perangkap. Karena terlalu berat membawa pulang seekor rusa secara utuh, maka ia memenggal leher rusa itu dan meninggalkannya di atas tunggul kayu di pinggir telaga. Sesampai di rumah, ia meminta suaminya Bapa Palui untuk mengambil kepala