Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

BIAJU, NGAJU & OLOH NGAJU (Bagian 5)

Gambar
BIAJU, NGAJU & OLOH NGAJU (Bagian 5) Hardeland (1858: 87) juga mencatat ada jenis tanaman padi yang bernama parei Dayak (padi Dayak) yaitu padi yang batangnya pendek namun berdiameter besar/gemuk. Dalam pengamatan saya, kenapa padi ini disebut padi Dayak, tidak hanya batang padinya yang pendek dan gemuk, tetapi juga bentuk bulir padinya  berbentuk pendek dan gemuk. Pada pertengahan abad ke-18 (sekitar 1761-1794) dalam surat-menyurat para pedagang Belanda di Banjarmasin disebutkan tentang komoditas rotan yang berasal dari wilayah orang Dayak yang disebut dengan nama rotan Dayak, rotan Biadjoe , dan rotan Dusun (Knappen, 2001: 355).   Pada masa kini, terutama di pedesaan, masih ditemukan pemakaian kata dadayak. Ternyata, kata ini tidak hanya ditujukan untuk manusia tetapi juga untuk seekor ayam. Seorang petani Dayak Ngaju yang memelihara banyak ayam kampung, suatu ketika menunjukkan kepada saya ayam peliharaannya dan  berkata “Lihat ayam itu kalau berjalan d

BIAJU, NGAJU & OLOH NGAJU (Bagian 4)

Gambar
BIAJU, NGAJU & OLOH NGAJU (Bagian 4) Di kalangan masyarakat Dayak Ngaju sendiri, pada mulanya kata “Dayak” sama sekali bukanlah nama etnis. Hardeland dalam kamus Dayak Ngaju-Jerman (1858) sama sekali tidak ada menyebutkan bahwa kata “Dayak” berarti “Suku bangsa di Kalimantan” seperti yang tercantum dalam kamus Dayak Ngaju-  Indonesia pada masa kini (Bingan-Ibrahim, 1996: 56). Ia hanya memakai kata Dayak atau Dajacksch dalam artian nama etnis pada bagian judul saja. Judul kamusnya yang tersohor itu: Dajacksch-Deutsches Wörterbuch , dikritik oleh Schärer ([1946] 1963:1-2) sebagai tidak tepat dan menyesatkan, karena kamus  itu hanya memuat perbendaharaan kata-kata dari satu kelompok Dayak tertentu saja, yakni Dayak Ngaju. Karena bagi Schärer, kata “Dayak” adalah istilah umum atau nama generik untuk menyebut semua penduduk asli pulau Kalimantan yang beragama Kristen dan Pagan (Kaharingan) tanpa melihat perbedaan adat-istiadat  dan bahasa. Walaupun demikian, menurut Ukur

BIAJU, NGAJU & OLOH NGAJU (Bagian 3)

Gambar
BIAJU, NGAJU & OLOH NGAJU (Bagian 3) Para missionaris Jerman yang bertahun-tahun tinggal dan hidup di tengah-tengah  orang Ngaju, juga tidak memakai istilah Biaju tetapi oloh Ngaju. Mereka lah yang kemudian mengintrodusir sebutan Ngaju atau oloh Ngaju. Hal itu  dilakukan berdasarkan temuan mereka bahwa: pertama kata Biaju atau Bijaju  bukanlah berasal dari orang Ngaju sendiri, tetapi dari orang luar, kedua orang  Ngaju tidak menyebut dirinya Biaju tetapi mereka menyebut dirinya oloh Ngaju  (Becker, 1849: 28). Kata “Ngaju” (ditulis dengan n kapital) dipakai sebagai kata  benda bukan sebagai kata keterangan tempat atau kata sifat (yang ditulis tidak  dengan n kapital). Schwanner (1853) memakai kata “orang Ngaju” untuk  menyebut orang Dayak Ngaju. Kata ”Dayak”, yang dikemudian hari menjadi prefiks kata “Ngaju” sehingga menjadi “Dayak Ngaju”, pertama kali muncul pada tahun 1757 dalam tulisan J. D. van Hohendorff yang berjudul “Radicale Beschrijving van Banjermassing

BIAJU, NGAJU DAN DAYAK NGAJU (Bagian 2)

Gambar
BIAJU, NGAJU DAN DAYAK NGAJU (Bagian 2) Catatan di atas geladak kapal dan bersumber dari mulut penutur asing itu  tentulah bias dan sangatlah berbeda dari catatan seseorang yang bertemu langsung  dengan orang Dayak Ngaju. Antonio Ventimiglia , seorang pastor kebangsaan  Portugis, yang diam, tinggal dan hidup bertahun-tahun di tengah orang Dayak  Ngaju, memakai kata Ngaju dan tidak Biaju. Ketika berkirim surat ia melaporkan  bahwa ia tinggal di satu wilayah yang bernama Rio Ngaju atau Sungai Ngaju   (Ferro [1690]1705 via Baier 2002, Demarteau 2006: 4). Pada masa awal, pemerintah kolonial Belanda di Banjarmasin juga memungut istilah Biaju begitu saja dan memakainya sebagai istilah teknis dalam tata administrasi kependudukan dan laporan-laporan. Karena itu dalam literaturliteratur dan arsip-arsip Belanda sebelum abad 19, istilah Biaju dipakai sebagai istilah generik atau kolektif. Biaju dipakai dalam pengertian Dayak secara umum, yang dipukul rata sebagai Ngaju, karen

BIAJU, NGAJU & DAYAK NGAJU (Bagian 1)

Gambar
BIAJU, NGAJU & DAYAK NGAJU (Bagian 1) Orang Dayak Ngaju yang kita kenal sekarang, dalam literatur-literatur pada masa-masa awal disebut dengan Biaju. Dalam literatur Melayu yaitu Hikajat Banjar , yang ditulis pada masa-masa awal kesultanan Islam Banjarmasin yaitu sekitar pertengahan abad 16 (Ras 1968: 196, Hall 1995: 489) terminologi Biaju dipakai untuk menyebut nama sekelompok masyarakat, sungai, wilayah dan pola hidup (Ras 1968: 336). Sungai Kahayan dan Kapuas sekarang ini disebut dengan nama sungai Biaju yaitu Batang Biaju Basar , dan Batang Biaju Kecil. Orang yang mendiaminya disebut Orang Biaju Basar dan Orang Biaju Kacil .  Sedangkan sungai Murong (Kapuas-Murong) sekarang ini disebut dengan nama Batang Petak (lihat Ras 1968: 314). Pulau Petak yang merupakan tempat tinggal orang Ngaju disebut Biaju (Ras 1968: 408, 449). Terminologi Biaju tidaklah berasal dari orang Dayak Ngaju tetapi berasal dari bahasa orang Bakumpai yang secara ontologis merupakan bent