LAHIRNYA GENERASI TERDIDIK DI KALIMANTAN TENGAH



LAHIRNYA GENERASI TERDIDIK 
DI KALIMANTAN TENGAH

Oleh: Marko Mahin




Perahu yang ditumpangi oleh Johann Heinrich Barnstein itu melaju tenang di atas riak Sungai Pulau Petak. Matahari sore yang menyengat mengiringi langkah kakinya naik ke satu kampung yang bernama Sungei Apui.  “Oloh baputi! Oloh baputi! Oloh baputi!”, demikian teriak anak-anak yang berlari kecil di belakangnya. 

Barnstein memang “oloh baputi” atau “orang kulit putih”.  Ia berasal dari Jerman. Semangat penginjilan telah mendorong dirinya datang ke Borneo yang menurut dongeng adalah pulau manusia buas dan tak beragama. Di Banjarmasin ia diberitahukan bahwa orang-orang itu disebut sebagai orang Dayak atau orang Biaju.

Hari itu 15 Juli 1835, ia telah menjejakkan kakinya di kampung orang-orang Dayak atau Biaju.  Ia duduk di rumah Raden Labih, pimpinan orang Dayak di kampung itu.

Namun sayangnya Raden Labih tidak ada di kampung.  Barnstein disambut oleh anaknya yang bernama Ambo.  Barnstein senang dengan Ambo, karena selain ramah ia juga pandai berbahasa Melayu.  Dari Ambo, Barnstein mengetahui betapa sengsara dan nistanya kehidupan orang-orang Dayak.  Mereka menjadi obyek baik dalam perdagangan maupun kehidupan politik.

Setelah tinggal beberapa hari di Sungei Apui dan menjelang kepergiannya ke tempat selanjutnya, Barnstein berbicara kepada para penduduk Sungei Apui tentang pentingnya ilmu dan mangaji.  Ia mengatakan bahwa anak-anak bahkan orang dewasa di Tanah Dayak harus mangaji agar pintar. Kalau sudah pintar maka tidak bisa dibodohi dan di bawah perintah orang lain. Barnstein juga berbicara tentang membangun rumah sekolah atau huma sakola tempat kegiatan mangaji akan dilakukan.

Ambo, yang ketika itu berumur 23 tahun, sangat tergerak hatinya mendengar kata-kata Barnstein.  Ia sangat menyadari bahwa ilmu, mangaji dan huma sakola sangat penting untuk meningkatkan martabat kehidupan orang-orang di Sungei Apui.  Ketika menjual rotan dan getah, ia telah melihat betapa majunya kehidupan orang-orang di Banjarmasin. Hal itu karena mereka memiliki ilmu, mangaji dan huma sakola.

Ia meminta agar Barnstein mau membagi ilmu dan mengajar mereka mangaji dan membangun huma sakola di Sungei Apui. Sebagai tanda bahwa mereka sungguh-sungguh mendapat ilmu dan mangaji, Ambo bersama-sama orang Sungei Apui menyerahkan sebilah mandau kepada Barnstein.


Mereka Bukan Orang Bodoh!


Mandau bagi orang Dayak bukanlah sekedar senjata tradisional. Mandau adalah pusaka untuk mempertahankan martabat dan harga diri. Dalam perjumpaan dengan Barnstein, secara simbolis pusaka yang berharga itu dipertukarkan dengan ilmu, mangaji dan huma sakola yang secara ringkas disebut dengan pendidikan. Apakah yang diharapkan dari pertukaran itu?

Oloh Ngaju atau Orang Dayak Ngaju yang menurut catatan Becker (1849) bukanlah manusia bodoh seperti yang diimajinasikan kebanyakan orang. Mereka mempunyai ingatan yang tajam, luar biasa dalam menghafal dan berhitung.  Pinjaman atau hutang dapat diingat dengan tepat.  Anak-anak Dayak dengan mudah menghapalkan nyanyian-nyanyian, pelajaran, dan bahasa Melayu.   Mereka tahan melakukan rapat adat   2 sampai 3 hari bak pengacara.  Namun mereka tidak suka meniru orang lain. 

Sifat-sifat positif  orang Dayak itu ramah, senang menerima tamu, rajin dan tekun dalam mengerjakan sesuatu yang berguna.   Tidak heran kalau Alfred R. Wallace (2000) yang telah melakukan ekspedisi menjelajah Nusantara memberi catatan khusus demikian “Saya cenderung untuk menempatkan orang Dayak di atas orang Melayu dalam mentalitas dan moralitas.  Mereka sederhana dan jujur sehingga sering menjadi mangsa dari pedagang-pedagang Melayu dan Cina

Ambo sebagai anak seorang Kepala Suku, tampaknya sangat menyadari kesengsaraan masyarakat sukunya. Ia sangat sadar bahwa “musuh” masyarakatnya yaitu kebodohan, kemiskinan dan ketertinggalan tidak bisa dihadapi dengan mandau terhunus tetapi dengan pendidikan.

Karena itu ia berjuang agar di kampungnya ada kegiatan mangaji dan huma sakola. Tujuh tahun setelah kedatangan Barnstein,  pada tahun 1842 didirikan rumah sekolah di Sungei Apui.  Pada saat itu Ambo telah berumur 30 tahun, namun dilaporkan bahwa ia beserta dengan anak-anaknya hadir di gereja  dan  ikut belajar  di sekolah yang diadakan oleh Missionar Becker.  Menurut laporan para missionaris Ambo adalah seorang murid yang rajin, tekun dan cerdas.   Missionar Zimmer menyebutnya sebagai “anak seorang kepala suku senior yang cakap dan suka belajar”.


Gereja dan Lahirnya Generasi Terdidik Dayak

Patut diakui bahwa  Gereja, melalui program pendidikan, telah melahirkan kelas menengah terdidik di kalangan masyarakat Dayak Ngaju.  Dilaporkan bahwa  pada pada tahun 1845 di Palingkau sudah ada 300-400 murid di sekolah-sekolah,  kemudian pada tahun 1848 sudah ada kira-kira 500 orang Dayak yang bisa membaca dan menulis.  Dalam salah satu suratnya yang ditulis pada tahun 1951, Hardeland melaporkan bahwa, “Di sekolah-sekolah terdapat 800 murid dan berkat pertolongan pemerintah beberapa orang Dayak telah dididik menjadi guru”  (Swellengrebel, 1974: 102). 

Membaca dan menulis adalah sesuatu yang luarbiasa bagi orang Dayak yang selama ini dicap sebagai  orang pedalaman hutan yang bodoh.  Menurut laporan Hardeland “...orang Dayak yang sudah melek huruf sangat menghormati buku.  Mereka menyimpannya dalam kotak-kotak khusus, dan berbuat sedapat mungkin agar buku-buku itu terlindungi dari kerusakan” (Swellengrebel).  Lebih jauh lagi, pendidikan memungkinkan mereka tahu secara langsung tentang peraturan-peraturan dan hukum-hukum yang berlaku.  Pendidikan memungkinkan orang Dayak untuk melakukan mobilisasi sosial, hal yang dahulunya tidak mungkin pernah dilakukan, yaitu dengan menjadi pegawai  dan penguasa lokal dalam sistem pemerintahan yang ada (Schärer 1963: 2).

Pelajaran membaca dan menulis yang dilakukan di sekolah-sekolah Zending adalah pelajaran membaca dan menulis dalam bahasa Dayak Ngaju (bukan dalam bahasa Belanda atau Jerman).  Hal itu dilakukan karena untuk menjadi orang Kristen yang baik haruslah pandai membaca Alkitab (Surat Barasih) dan tidak boleh buta huruf.  Dengan demikian maka masyarakat Dayak Ngaju, melalui pendidikan, telah di bawa keluar dari tradisi lisan ke tradisi tertulis.  Namun tidak hanya ini yang terjadi.  Missionar Baier (1988) dengan agak samar-samar menulis, “...orang-orang menjadi sadar akan  budaya  mereka sendiri...”

Secara tidak sadar  pendidikan dengan memakai  bahasa Dayak membuat  orang  Dayak Ngaju  dekat dirinya.  Ia diajarkan dengan bahasanya sendiri yaitu bahasa yang dijumpai dan  dipelajari di pangkuan ibunya sendiri (sehingga disebut bahasa ibu).  Pembelajaran dengan bahasa ibu itu membangun kesadaran etnik bahwa ia adalah tetap Dayak kendatipun beragama Kristen. Hal ini berlawanan dengan pola konversi yang sudah ada yaitu orang Dayak harus menjadi “oloh habasa” (orang yang tidak berbahasa Dayak) dan tidak lagi mengakui dirinya Dayak.


Pendidikan adalah Core Bussiness Gereja

Tak dapat disanggah bahwa pendidikan merupakan ujung tombak tatkala gereja dan komunitas Kristen berinteraksi dengan masyarakat luas. Fungsi Gereja sebagai “Garam dan Terang” terukur jelas dengan berapa banyak kaum yang dididik, dicerdaskan, dan  ditransformasi kehidupannya.  

Sejarah memperlihatkan bahwa ketika Gereja berkarya di wilayah Pulau Petak (sekarang ini Kuala Kapuas dan sekitarnya) maka wilayah itu menjadi center for excellenct bagi masyarakat sekitarnya. Dalam sejarah dicatat bahwa kota Kuala Kapuas pernah menjadi “kota yang memproduksi tenaga intelektual” atau “kota pelajar” di Kalimantan Tegah. Dalam buku Sejarah Pendidikan Daerah Kalimantan Tengah (1982: 71) dituliskan bahwa: “Kuala Kapuas pada sekitar tahun 1950, merupakan satu-satunya kota pelajar karena SMP dan SGB hanya terdapat di kota itu”. 


Hal itu terjadi karena Gereja menjadikan pendidikan sebagai core bussiness-nya.  Memang sangat berbeda dari gereja-gereja sekarang yang cenderung menjadikan KKR dan Penyembuhan Rohani  sebagai kegiatan utamanya. Iblis melalui jerat kapitalisme yang licik, licin dan halus, telah mentransformasi gereja menjadi semacam kelompok event organizer saja.[MM]. 

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGKHOTBAH DAN BUDAK-BELIAN, NYANYIAN PARODI

RIWAYAT HIDUP DAN KARYA AUGUST FRIEDERICH ALBERT HARDELAND

BIAJU, NGAJU & DAYAK NGAJU (Bagian 1)