Catatan Perjalanan

KOPIAH TANPA AGAMA:  

STRATEGI DAN ADAPTASI BUDAYA DI TANAH ANGKOLA
(Oleh: Marko Mahin)




Berkunjung ke Padangsidimpuan dan Sipirok, serta bertemu dengan sekelompok masyarakat yang menyebut dirinya orang Angkola, mengajar saya bahwa Batak itu tidak selalu keras, kasar, dan meledak-ledak, serta tidak harus beragama Kristen. Logat bahasa orang Angkola terdengar lebih lembut bila dibandingkan orang Toba, namun terdengar lebih tegas jika dibandingkan dengan orang Mandailing.

Orang Angkola umumnya beragama Islam dan sebagian kecil beragama Kristen. Masuknya agama Islam ke Padangsidimpuan dan Sipirok selain melalui jalur damai perdagangan juga melalui jalur pedang pasukan Padri. Agama Kristen masuk melalui jalur perkebunan kopi milik pemerintah kolonial Belanda. Gerrit van Asselt, seorang missionaris dari Jemaat Ermelo, Belanda, terlebih dahulu menjadi opkooper atau pembeli kopi di pasar Sipirok, sehingga dapat melakukan baptisan pertama atas dua orang Batak pada 1861.

Hadirnya agama Islam dan Kristen seolah membelah kelompok masyarakat Angkola menjadi dua kotak kebudayaan yang tidak hanya berbeda tetapi juga berlawanan. Keluarga-keluarga atau warga suku yang pada mulanya bersatu padu menjadi terpecah-belah dalam dua kelompok agama.  

Fenomena muram ini terlihat dari pengalaman pahit tiga orang anak Djaroemahot Nasution, seorang Muslim yang telah menghadiahkan sebidang tanah kepada Gerrit van Asselt di Parausorat pada 1857. Ketiga orang itu adalah Sintua Johannes Nasoetion, Pendeta Petroes Nasoetion (salah satu pendeta pertama di Tanah Batak ditahbiskan pada tanggal 19 Juli 1885) dan Tandoek Nasoetion (Demang pertama di Balige tahun 1914-1928).   Menurut Togar Nainggolan (2014: 44) setelah van Asselt tidak lagi berada di Parausorat, mereka diusir dan harus bukas atau pindah ke Padangmatinggi yang mengakibatkan gedung gereja di Parausorat kosong, tidak dipergunakan lagi.

***

Agama yang disfungsional,  pemicu riak-riak pertikaian yang mengancam ketentraman hidup di masyarakat, sangat disadari keberadaannya oleh orang Angkola, secara khusus yang bergabung di Gereja Kristen Protestan Angkola (GKPA). Sejarah yang terentang panjang dari masa lalu, mengajarkan mereka bahwa hidup tercerai dan bertikai hanyalah salah satu pilihan, sementara pada sisi lain terdapat pilihan yang lebih baik yaitu hidup bersatu, damai tanpa perselisihan.

Pilihan atas hidup bersama itu mendorong mereka melakukan gerak lincah kultural yaitu dengan rendah hati dan rajin menenun kerukunan dengan saudara-saudara yang tidak seagama tetapi satu adat dan nenek-moyang.  

Secara sadar, walaupun beragama Kristen, mereka memakai peci atau kopiah dalam kegiatan gereja maupun kehidupan sehari-hari. Dengan cara itu, secara visual tidak ada kontras tajam antara yang beragama Kristen dan Islam. Dikotomi berdasarkan cara berpakaian dapat didamaikan. Sehingga kopiah yang pada mulanya adalah simbol keagamaan, kini menjadi simbol kultural milik bersama. Ia tidak lagi menjadi  penanda dan pembeda, tetapi menjadi pemersatu.

Tidak  hanya pada tataran busana. Adaptasi kebudayaan juga dilakukan hingga ke pada hidangan pesta pada acara-acara adat. Secara sadar,  orang Angkola menggunakan ayam, kambing dan kerbau sebagai makanan yang dikonsumsi pada acara-acara adat. Daging babi yang umumnya dilihat sebagai daging terlezat dalam pesta-pesta adat, disingkirkan demi saudara-saudara Muslim.

***

Tindakan kultural demikian oleh Van Peursen (1978:216) disebut sebagai “strategi kebudayaan” yaitu “…cerita tentang perubahan-perubahan, riwayat manusia yang selalu memberikan wujud baru kepada pola kebudayaan yang sudah ada… Sehingga kebudayaan bukanlah sebuah kata benda, melainkan sebuah kata kerja. Kebudayaan tak lain dari caranya seorang manusia mengekspresikan diri, caranya ia mencari relasi-relasi tepat terhadap dunia sekitarnya…”

Strategi kebudayaan yang dilakukan secara sadar itu,  secara tidak langsung menjadi sarana untuk mengikis jelaga hitam dan kerak-kerak kebencian yang muncul akibat perbedaan agama. Fitur-fitur kebudayaan yang dimodifikasi sedemikian rupa membuat kehidupan tidak terjerumus dalam comberan kekacauan.

Pada sisi lain,  hal ini memungkinkan GKPA menjadi gereja yang tidak terasing atau teralienasi dari lingkungan budaya dan sosialnya. Keterasingan dapat diatasi dengan kerja-kerja budaya, yang mungkin kelihatan sederhana dan bersahaja, misalnya berkunjung pada saat Hari Raya Idul Fitri, namun terasa manfaatnya untuk kehidupan bersama.


Dalam acara Jews, Christian, and Muslim Conference (JCMC),  7-15 Agustus 2022 di Padangsidimpuan, Panitia memberi saya hadiah yang sangat berkesan yaitu satu peci atau kopiah Angkola.  Kopiah cantik, yang menurut masyarakat Angkola adalah identitas kultural, bukan identitas agama. Hal itu membuat nyaman siapapun yang memakainya, entah apapun agamanya. Pun demikian saya.

Bagi saya pribadi, kopiah Angkola ini, selain membuat saya tampak berwibawa juga menambah kegantengan, sehingga ada salah seorang peserta kegiatan  yang “ngotot” mengatakan saya mirip artis "Helmi Yahya" saat mengenakan kopiah itu.  Jujur, kopiah seperti ini sangat berguna bagi saya karena dapat menambah tinggi badan yang memang relatif pendek. [**MM**].

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGKHOTBAH DAN BUDAK-BELIAN, NYANYIAN PARODI

RIWAYAT HIDUP DAN KARYA AUGUST FRIEDERICH ALBERT HARDELAND

MENGENANG BETHABARA