TEISME KEPARAT
TEISME KEPARAT
(Oleh : Marko Mahin)
(Oleh : Marko Mahin)
Ada sesuatu yang sangat keji dalam otak kita. Kita
senang melihat orang lain tidak sama dengan kita. Kita gembira dan merasa diri sangat istimewa ketika orang lain tidak memiliki sesuatu yang kita miliki. Kita bahagia dan bangga dengan kepemilikan sekaligus keberbedaan itu. Jahatnya,
kita menghendaki orang lain
itu sengsara dan tidak
bahagia karena berbeda dari kita dan tidak memiliki apa yang kita miliki.
Kita ingin mendominasi sesuatu yang khusus,
istimewa dan spesial. Kita merasa diri tidak lagi khusus atau spesial kalau
sama dengan orang lain. Karena itu yang
dikejar adalah kekhususan atau keistimewaan, sehingga berbeda sama sekali
bahkan bertentangan dengan yang tidak khusus dan tidak istimewa. Dengan
demikian, kita merasa diri lebih,
sementara yang lain kurang.
Cara berpikir demikian menggiring seseorang untuk melokalisir
diri untuk terpisah dan berbeda dari yang lain. Batas dan jarak pun dibangun, perbedaan atau ketidaksamaan
pun ditonjolkan. Secara sengaja, bahkan
terencana, kita mengasingkan diri untuk tidak sama dan berbeda dari yang lain
yaitu dengan mengutamakan ketidaksamaan, misalnya dalam
pengucapan salam, bahasa, makanan, busana, tahun baru, bahkan
ketidaksamaan nama Tuhan atau Allah yang disembah.
Saat ketidaksamaan dikokohkan agar ada kekhususan,
maka terciptalah sang liyan (the others)
yaitu orang-orang yang dengan sengaja dilainkan, dieksklusi, dikeluarkan dari
keberadaan yang khusus dan istimewa itu. Proses peng-liyan-an (otherizing) itu tidak hanya menghasilkan
kelompok lain yang berada di luar kelompok saya (outsiders), tetapi juga melahirkan kelompok lain yang berbeda dan
lebih rendah derajatnya dari kelompok saya, yaitu kaum kafir, jahat, sesat, terkutuk,
kotor, najis dan menjijikan.
Memenjarakan Allah
Konsepsi tentang Allah atau Tuhan merupakan salah
satu hal yang dapat memicu kita merasa istimewa, khusus, atau spesial. Konsepsi ini dapat membuat kita merasakan dan
membayangkan bahwa Tuhan itu seagama
dengan kita. Ia hanya hadir dalam rumah ibadah kita dan tidak hadir di rumah
ibadah agama-agama lain. Ia hanya milik
kita, milik agama kita. Perasaan itu
membuat kita tidak rela jika Ia juga
menjadi milik bersama pihak lain, apalagi milik dan bersama sang liyan.
Karena tidak sudi kalau Allah kita sama dengan
allah kamu liyan, maka kita memonopoli
Allah. Allah disekap dalam kerangkeng agama kita. Sehingga
Allah tidak lagi menjadi pusat, jantung, sumber dan tujuan semua agama. Ia hanya menjadi milik kita, bukan milik
agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan lain.
Ironisnya dengan menyatakan Allah kita berbeda
dari allah kaum liyan, kita merasa diri
kita sangat beriman dan sangat saleh.
Kita menganggap itu adalah tindakan suci yaitu meng-esa-kan Tuhan, tidak
men-dua-kan Tuhan, tidak membuat Tuhan cemburu. Kita membayangkan Allah itu
tersenyum bahagia atas perbuatan kita itu.
Akibat dari pandangan itu adalah semua liyan
dilihat sebagai kaum kafir tidak ber-Tuhan.
Karena tidak ber-Tuhan maka berarti mereka tidak beragama. Karena tidak
beragama maka mereka sah dan boleh menjadi sasaran penyebaran agama. Dengan
demikian, agama-agama lain dilihat sebagai musuh, bukan kawan seperjalanan menuju Tuhan. Karena tidak memiliki Allah yang sama maka
tidak mungkin ada doa bersama. Bahkan
seseorang merasa murtad, sesat dan berkhianat kalau hadir dalam ibadah agama
lain atau ikut merayakan hari besar agama lain.
Ada semacam kesenangan sadis dalam sikap beragama
kita yaitu diam-diam kita senang dengan
keberadaan kaum liyan yang kita anggap tidak ber-Allah, tidak ber-Tuhan. Kita riang dan bersorak kalau mereka menderita, tidak bahagia dan binasa karena tidak
mempunyai Allah. Keberadaan mereka mempertegas keberadaan kita yang adalah putih,
bersih, suci, murni dan
terpilih. Keberadaan mereka membuat seseorang merasa bahagia, diberkati dan
masuk sorga kalau bisa menista, menzalimi, menyakiti, menindas, menganiaya dan
menumpas orang-orang yang tidak seagama dengannya.
Inilah pendekatan
dikotomis dalam beragama yang melahirkan oposisi biner yaitu dua kutub atau
pasangan konsep yang saling berlawanan untuk bertolak-belakang. Dengan pola yang
demikian maka relasi antara agama bukanlah relasi damai, tetapi hierarki yang
kejam. Dalam pola yang demikian terbangun relasi kekuasaan yang satu
mensubordinasi yang lain, atau yang satu dilihat lebih superior dari yang lain.
Sehingga terjadilah pemetaan yang semena-mena tentang yang baik dan buruk,
hitam dan putih, benar dan tidak benar, yang asli dan yang palsu, yang berasal
dari Tuhan dan tidak berasal dari Tuhan. Bahkan ter-peta-kan apakah seseorang
itu masuk sorga atau masuk neraka.
Teisme Keparat
Teisme yaitu konsepsi yang dibuat manusia
mengenai siapa Allah, memang
dapat menjadi semacam “senjata psikologis” yang sengaja diciptakan bagi upaya-upaya konversi dan
proselitasi. Cara kerja teisme keparat ini adalah dengan memonopoli
Tuhan yaitu mengurung Tuhan dalam penjara agamanya sendiri. Setelah itu, memuliakan agama sendiri dan menista agama
orang lain sebagai agama palsu dengan allah yang palsu pula. Teisme ini dipakai
untuk menghadirkan perasaan inferior, rendah dan hina-dina pada orang yang beragama lain. Pada sisi lain, dipakai untuk menanamkan
perasaan superior, terkemuka dan mulia untuk internal agama sendiri.
Inilah mesin sosial untuk membuat manusia terasing
dan terpisah untuk kemudian saling
bermusuhan satu dengan yang lain. Teisme ini menghasilkan segregasi sosial yaitu pemilahan sosial berdasarkan pada
ciri-ciri dasar yang berbeda atau yang dianggap berbeda atau sengaja membuat
beda, baik dalam arti fisikal maupun kultural. Kemudian perbedaan itu, ditempatkan dalam satuan-satuan
sosial yang berlawanan dengan
satuan sosial lainnya. Corak dari segregasi sosial adalah timbulnya anggapan
bahkan pandangan: in group melawan out group; kami melawan
mereka; aku melawan dia.
Dalam kondisi seperti ini, nilai-nilai dari hubungan kemanusiaan dipersempit
menjadi hubungan kepentingan, bahkan hubungan persekongkolan.
Teisme senacam ini biasanya marak dalam ranah perebutan kekuasaan. Ini
adalah “politik agama”. Allah sebagai
modal simbolik dimonopoli untuk meningkatkan daya jual-beli politis. Namun tindakan
memonopoli Allah merupakan perbuatan nista, karena menjadikan Allah sebagai
sumber kebencian dan kemarahan
religius yang meningkatkan penderitaan
umat manusia. Teisme ini melahirkan praktik sosial yang mengkerdilkan
kemanusiaan karena membenarkan penaklukan dan kekerasan atas manusia yang beragama
dan berkebudayaan lain.
Tindakan meng-esa-kan Tuhan mestinya
dengan membiarkan Tuhan sebagai satu-satunya tujuan, pusat, sumber dari semua
agama. Hal itu tercermin dalam
tindakan menghormati manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan dan yang senantiasa
dicintai Tuhan, bukan dengan
menciptakan mahluk ilahi yang kejam pada manusia agama tertentu. Mestinya kita waspada dan meninggalkan
perbuatan nista itu karena telah menjadikan
Allah sebagai sumber ketidak-setaraan, propaganda perang dan persemaian bibit
kebencian. Bunuhlah tuhan yang melahirkan
penderitaan. Buanglah allah yang membuat kita susah. [MM].
Komentar
Posting Komentar