MENGENANG BETHABARA
|
Sangat gembira karena
mendapat satu buku dalam
bahasa Jerman dengan judul “Neuere Geschichte der Evangelischen
Mission-Anstalten zu Bekehrung der Heiden in Ost-Indien: aus den eigenhändigen
Aufsätzen und Briefen der Missionarien” (Sejarah
Terkini Pendirian Misi Injili untuk Pertobatan Bangsa-Bangsa di Hindia Timur:
dari Tulisan Tangan dan Surat Para
Missionaris).
Dalam surat yang dikirim dari Pulau Petak tertanggal 6 November 1838, Berger menceritakan perjalanannya bersama Missionar Hupperts dan Becker dari Banjarmasin menuju wilayah Pulau Petak yang terdapat di Daerah Aliran Sungai Kapuas Murong. Residen menyediakan perahu dengan tenaga pendayung sebanyak 20 orang. Setelah mudik Sungai Barito, kemudian belok kiri menghiliri Sungai Murong, pada tanggal pada hari Jum’at tanggal 7 September 1838 mereka tiba di Kampung Soengai Planked [sic!] seharusnya Plangkai atau Palangkai (Berger 1840: 133-14).
Kepala Suku Kampung Sungei Palangkai yang bernama Deman [sic!] telah menyiapkan satu rumah sebagai tempat tinggal mereka. Rumah itu setiap hari selalu ramai dengan kunjungan orang-orang Dayak bahkan hingga larut malam. Mereka berkunjung dengan membawa padi (beras), sayur-sayuran dan buah-buahan. Sebagai gantinya mereka mendapat garam dan tembakau. Bagi yang dapat berbahasa Melayu maka akan dilayani oleh Berger dan istri, namun untuk yang berbahasa Dayak akan dibantu oleh Djemi sebagai penerjemah.
Mengenai Djemi. Selain
bersama Sofie istrinya, Berger datang ke Palangkai bersama dengan seorang anak remaja
berusia 12 tahun bernama Djemi Pari yang bertugas sebagai penterjemah
dan ikut membantu mengajar. Ia adalah murid dari Missionar Barnstein di
Banjarmasin. Ia dapat berbahasa Melayu Banjar dan Dayak Ngaju. Bapaknya orang
Inggris dan ibunya orang Dayak Ngaju, kedua orang tuanya sudah meninggal dunia.
Dari surat tulisan tangannya tampak bahwa Djemi Pari telah lama menjadi orang
Kristen, dibaptis oleh Barnstein di Banjarmasin.
Pada saat pertama kali dibuka, sekolah hanya dihadiri oleh 2 orang murid yaitu Djemi Japari dan Somon anak Kepala Suku. Pada kemudian hari bertambah menjadi 9 orang murid. Sekolah hanya berlangsung selama 2 jam, mulai pukul 8 selesai pada pukul 10, dengan pelajaran utama membaca, menulis dan berhitung. Ibadah hari Minggu dihadiri 15 orang. Sementara belum lancar berbahasa Dayak Ngaju, Berger berkhotbah dengan menggunakan bahasa Melayu.
Berdasarkan catatan Berger, Kampung Palangkai pada saat kali pertama ia datang berpenduduk sekitar 400 orang, namun sebagian besar menetap di sawah yang letaknya jauh dari kampung. Ia mencatat di Palangkai saat itu terdapat rumah panjang (betang) yang didiami sekitar 100 orang. Terdapat beberapa keluarga Tionghoa, namun tidak ada orang Melayu (Banjar). Di seberang sungai terdapat kampung (Sungei Tatas) yang kepala suku dan sebagian besar penduduknya telah memeluk agama Islam.
BAPTISAN
Dalam surat tertanggal 31 Desember 1838, Berger
menceritakan tentang kelahiran anak mereka pada tanggal 14 Desember 1838 dan diberi
nama Johannes Hermann. Pada tanggal 25 Desember 1838, bayi itu dibaptis. Pada
saat itu hadir Missionar Barnsetin dan Hupperts berserta istri.
Selain itu, dalam surat tertanggal 20 April 1839, Berger
menceritakan bahwa pada tanggal 10 April 1839, Missionar Hupperts melakukan
baptisan pertama di wilayah Pulau Petak atas seorang Dayak. Pada saat itu
bertepatan dengan adanya kunjungan para pejabat dari Banjarmasin karena ada
kegiatan pemilihan Kepala Pemerintahan Distrik Pulau Petak (Districthoofd).
Orang Dayak
yang dibaptis oleh Hupperts adalah
seorang Kepala Suku dengan gelar Mangko Pati, juga
ditulis Mangku Prompti, (Ukur 1971: 136). Mangku Pati bukanlah nama orang tetapi gelar
yang umumnya diberikan kepada seorang kepala kampung (kampong-hoofd). Dalam sumber lain ia disebut dengan gelar Mangko Sarani (RZT 1887: 154).
Baptisan tidak dilakukan pada hari Minggu pada saat Ibadah Minggu. Baptisan
dilakukan pada hari Selasa, bertepatan dengan
kedatangan Resident dari Banjarmasin ke Pulau Petak dalam rangka persiapan
pemilihan Kepala Suku Baru (Tamanggung) untuk wilayah Pulau Petak (NGEM
1840: 154). Resident diminta menjadi Bapa Baptis (saksi). Nama baptis yang
diberikan kepada Mangku Pati adalah Adriaan yang adalah nama kecil
Resident yaitu Adrianus Marius Elaarst Quint
"Adriaan" Ondaatje (A.M.E. Ondaatje) yang pada waktu itu menjabat
sebagai Resident ter Zuid-Oost kust van
Borneo (Feuille Religieuse du
Canton de Vaud: Année 1844: 114, MNZG
1842: 92).
Tentu saja Mangku Pati yang kemudian mendapat nama baru Adriaan tidaklah
tinggal di Bethabara atau Palangkai. Kemungkinan besar ia adalah kepala
kampung (kampong-hoofd) di Sungei
Apui.
Sungei Apui dan Bethabara terletak pada jalur sungai yang sama yaitu
Sungai Murong yang disebut juga Sungai Pulau Petak. Pada hari dan tanggal yang
sama yaitu Rabu 10 April 1839 di Bethabara, missionar Berger juga melakukan baptisan atas seorang anak (Feuille Religieuse du Canton de Vaud: Année 1844: 116). Sayangnya hingga kini belum tersedia data yang dapat menginformasikan siapa nama
anak yang dibaptis itu atau siapa nama orang tuanya.
Kendatipun di bulan-bulan pertama tinggal di tengah orang Dayak, Berger dan istri sulit tidur lelap karena hampir setiap malam orang Dayak selalu mengadakan pesta atau ritual keagamaan yang memakai alat musik tetabuhan bersuara bising untuk mereka, Berger sangat memuji orang Dayak. Ia menyebutkan bahwa orang Dayak memiliki karakter yang lebih unggul daripada orang Melayu. Ia mengatakan:
“Mengenai karakter, orang Dayak jauh lebih unggul daripada orang Melayu, dan tentu saja dari banyak orang yang tidak beragama lainnya. Secara umum mereka setia, jujur dan pekerja keras, dan memiliki keterusterangan yang khas, karakter tersebut tampak dalam fitur wajah mereka. Namun mereka memiliki ambisi besar yang dibarengi dengan takhayul dan sifat takut-takut. Meskipun campuran yang mencolok ini berasal dari akar yang jahat, ini juga merupakan alasan mengapa mereka terpelihara dari beberapa dosa yang khas bagi orang-orang yang tidak beragama lainnya, yaitu mencuri”.
DEMAM BERDARAH
Pada tanggal 2 Juni 1845, Berger mendapat kunjungan Dr. Schwaner yang melakukan penjelajahan di pulau Kalimantan. Saat itu ia sedang terbaring sakit. Dr. Schwaner memeriksa kondisi Berger, ternyata ia kena demam berdarah. Schwaner membawa Missionar Berger untuk berobat di Banjarmasin. Karena tampaknya tidak terlalu membahayakan, Berger meninggalkan anak-anak dan istrinya di Pulau Petak (Missionsblatt No. 45, 1847 : 18).
Tanggal 10 Juni 1845, ia tiba di Banjarmasin dan disambut hangat oleh Missionar Barnstein. Pada hari-hari berikutnya, ia masih dalam keadaan sehat dan masih sempat menulis surat untuk anak dan istrinya di Pulau Petak. Pada tanggal 12 Juni 1845, ia mengalami gejala demam dengan panas yang tinggi. Pada tanggal 13 Juni 1845, demamnya turun dan ia merasa sehat, karena itu ia berpesan dan melarang orang-orang untuk memberi kabar apapun kepada anak dan istrinya. Namun pada hari yang sama ia mengalami masa kritis hingga pingsan tak sadarkan diri selama 2 hari, sehingga teman-temannya merasa perlu berkirim surat ke Pulau Petak memberitahukan keadaannya kepada anak dan istrinya. Pada hari Minggu 15 Juni 1845 kembali ia diserang demam tinggi yang membuatnya pingsan, hingga akhirnya pada tanggal 16 Juni 1845, pukul 10 malam, ia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pada tanggal 17 Juni 1845, ia dimakamkan di Banjarmasin (Missionsblatt No. 45, 1847: 19).
Julius Berger wafat dengan meninggalkan tiga orang anak, satu anak laki-laki dan dua perempuan. Pada tahun 1846 istrinya kembali ke Eropa. Majalah Missionsblatt No. 46, 1847 melaporkan bahwa “…pada tanggal 28 Juni 1846, janda Julius Berger telah kembali dengan tiga orang anaknya yang sehat dan lincah. Satu putra dan dua putri. Mereka berbicara dengan manis dan riang dalam bahasa Dayak dan Melayu” (1847: 23).
CERITA AKHIR
Pekabaran Injil di Kampung Sungei Palangkai dapat dikategorikan berjalan sangat lambat. Dalam tulisan Missionar Becker (1848: 460) dilaporkan bahwa di bawah pelayanan Missionar Van Hoefen pada tahun 1846 di Palangkai terdapat 4 orang yang sudah dibaptis, 160 orang pengunjung gereja (termasuk di dalamnya para murid sekolah). Pada akhir tahun 1858 dilaporkan bahwa di Bethabara telah terdapat 100 orang menerima baptisan (Ukur 1971: 88).
Dalam buku Sejarah Kabupaten Kapuas (1982: 8, 11) disebutkan Kampung Sungei Palangkai pada waktu itu dipimpin oleh Dambung Tuwan. Kampung Palangkai yang berdampingan dengan stasi Bethabara, pada waktu itu adalah kampung yang relatif ramai karena menjadi pos terdepan dalam pengumpulan hasil hutan dan hasil kerajinan masyarakat (tikar rotan dan bakal perahu) sebelum di bawa ke Banjarmasin. Kampung ini berkembang pesat menjadi perkampungan besar yang ditandai dengan stasi Zending yang menampung ratusan pelajar, perumahan para pedagang Bakumpai dari Marabahan, rumah terapung atau rumah rakit (Lanting) milik para pedagang Banjar dari Banjarmasin, juga karena ada pemukiman komunitas Tionghoa (Pecinan), sehingga mirip perkampungan yang terdapat di sekitar kota Banjarmasin.
Kriele (1915:41) menyebutkan bahwa Palangkai dan Bethabara memiliki posisi yang penting karena merupakan tempat kedudukan Gezaghebber atau Pemangku Kekuasaan Belanda, sehingga merupakan kampung utama dan penting di Distrik Pulau Petak. Hal itu yang membuat Kepala Distrik (Districhoofd) Tamanggung Nikodemus Ambo yang semula berdiam di Sungei Apui, pada Oktober 1842, bersama-sama dengan keluarga besarnya pindah ke Palangkai mendekati pesanggrahan Gezaghebber yang terdapat di Palangkai.
Memang pada waktu itu, berdampingan dengan stasi Bethabara di Palangka dibangun pesanggrahan untuk Gezaghebber atau pejabat Belanda. Secara berkala Gezaghebber yang sekaligus Komandan Benteng Marabahan dengan sepasukan tentara melakukan kunjungan berkala, melakukan pengawasan ke Palangkai. Pada masa itu sedang direncanakan pemungutan pajak (inkomsten-belasting) dan kerja rodi (heerendienst). Hal yang menimbulkan kemarahan di hati masyarakat (Sejarah Kabupaten Kapuas, 1982: 12)
Di Bethabara, Missionaris Wiegand juga membangun Pandelingskolonie yaitu perkampungan untuk menampung 100 orang budak yang telah ditebus oleh Zending (Kriele 1915: 41).
Pada malam hari, tanggal 3 Oktober 1855 pangkalan misi atau stasi yang dibangun oleh Berger, yang saat itu dilayani oleh Missionar Wiegand, diserang dan dibakar oleh orang-orang yang marah kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Pada saat meletus Perang Banjar yang dimulai dari pertempuran di pertambangan batu bara di Kalangan, Martapura pada tanggal 3 Mei 1859, wilayah Pulau Petak juga terkena imbasnya. Palangkai ditandai oleh pihak Belanda sebagai sarang “pemberontak”. Pada tanggal 16 Juni 1859, Kapten Van Hasselt dengan menggunakan dua buah kapal perang menembaki pemukiman Palangkai. Setelah itu satu pasukan marinir mendarat dan membakar hangus semua bangunan rumah.
Para missionaris berhasil diungsikan ke Banjarmasin, kecuali Missionar Ruth, Wiegand dan istri, Missionar Kind dengan istri beserta 2 orang anak, mereka mati terbunuh di pangkalan Tanggohan. Juga Missionar Hofmeister dan istri, mereka terbunuh di stasi Penda Alai-Buntoi.
Akibat perang, penduduk Palangkai pergi terserak ke berbagai tempat. Tamanggong Ambo beserta dengan sanak-saudaranya mengungsi ke Tumbang Kapuas mendekati Benteng Belanda yang didirikan pada bulan Februari 1860. Saat itu ia menjabat sebagai Kepala Distrik (Districtshoofd) Kuala Kapuas. Pada tahun 1863, ia membangun pemukiman baru di sekitar muara Sungei Hampatung, di seberang kota Kuala Kapuas (Sejarah Kabupaten Kapuas (1982: 8, 11,14).
PERINGATAN !!!!
SAYA TIDAK MENGIZINKAN SIAPAPUN MEMPUBLIKASIKAN ATAU MENGALIHKAN TULISAN SAYA KE MEDIA YANG LAIN, MISALNYA MENJADI CONTENT YOU TUBE, TIK-TOK, DLL.).
Komentar
Posting Komentar