KEHIDUPAN RUWET MISSIONARIS HUPPERTS (2)
Pada 1841, Hupperts juga pernah mencoba merintis pembukaan
pos Pekabaran Injil di Gohong, Kahayan (sekarang desa Gohong, Pulang Pisau). Di
sana ia mendapat tantangan keras dari Tamanggung Singa Pati, kepala suku
Dayak yang berkedudukan di Petak Bahandang-Buntoi. Tamanggung Singa Pati tersinggung karena Hupperts lewat begitu saja
melintas kampungnya dan berencana mendirikan sekolah di Gohong yang terdapat
dibagian hulu, padahal ia sudah terlebih dahulu menghadap Residen di
Banjarmasin meminta agar dikirimkan guru dan didirikan sekolah di tempatnya. Dengan pengaruhnya, ia menghalangi dan
mempersulit pekerjaan para missionaris, sehingga pada tahun 1845 para
misionaris pergi keluar meninggalkan Gohong mencari tempat lain yang lebih
terbuka dengan kedatangan mereka (Von Rohden, Geschichte, 60, Witschi 1942:
16).
Selepas wafatnya Berger pada 1845, pelayanan di stasi Bethabara diserahkan kepada Missionar Hupperts yang sebelumnya melayani di Sungei Apui. Selama melayani di Bethabara atau Palangkai, Hupperts memperluas pelayanan ke kampung terdekat. Ia membangun pos kedua di Kampung Barasak, setengah jam dengan naik perahu dari Bethabara. Di kampung itu ia mengangkat seorang seorang pemuda Dayak bernama Idol menjadi guru dengan murid berjumlah 20 orang. Kemudian Hupperts juga membuka satu sekolah lagi di Kampung Sungei Palinget dengan jarak setengah jam naik perahu dari Kampung Barasak, dipimpin oleh seorang pemuda Dayak bernama Paman menjadi guru dengan murid berjumlah 20 orang (MNZG 1849: 107, van der Loeff 1851: 356). Dengan demikian, melalui Hupperts lahir dua orang guru Dayak pertama yaitu Idol dan Paman.
Dari Januari 1841- Maret 1842, Hupperts melayani di Sungei Bintan yang jaraknya sekitar tiga jam naik perahu dari Bethabara, mengganti Missionar Hardeland yang bertugas di Banjar (RZT 1871: 78, von Rohden 1856:199).
RUWET
Kehidupan tidak
selalu baik-baik saja. Hupperts mengalami kehidupan yang ruwet. Saat melayani
di Kahayan, istrinya meninggal dunia dengan indikasi mati keracunan. Kriele
(1915:48) melaporkan tentang istri
kepala suku yang ahli meracik racun (pulih) dan pernah ditemukan kain
lap beracun dalam bejana air di rumah missionaris. Di kemudian hari Hupperts
menikah lagi hingga memiliki delapan orang anak.
Pada 1848, Hupperts diberhentikan dari pekerjaan missionaris, dianggap tidak layak karena kebiasaan mabuk (Von Rohden, Geschichte, 63–64, Von Rohden, Geschichte, 295). Missionar G. Zimmer secara halus menyebutkan pemecatan dilakukan dengan alasan “kelemahan moral“ (Westhoff 1872: 33). Setelah itu, Hupperts alih profesi menjadi pengawas atau operator di pertambangan batu-bara Oranje Nassau di Kalangan (sekarang ini Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan).
Ketika meletus Perang Banjar 1859, yang
diawali dengan penyerangan
terhadap benteng Belanda dan tambang batubara di wilayah Pengaron, Hupperts dan seorang
anaknya menjadi korban.
Saat sedang duduk saat sarapan bersama keluarganya, para penyusup menyerbu masuk, menangkapnya, menyeretnya keluar dan di bawa ke satu tempat yang bernama Bangkai (Banyu Irang), kira-kira 45 menit berjalan kaki dari Kalangan. Di tempat itu, Hupperts yang saat itu telah menjadi seorang operator tambang dibunuh bersama dengan seorang anak perempuannya yang masih kecil. Istri Hupperts bersama dengan tujuh orang anaknya berusaha lari dan menyelamatkan diri. Atas bantuan dan perlindungan Pangeran Hidayatullah, akhirnya mereka dapat tiba dengan selamat di Banjarmasin (Sjamsuddin 2021: 57-58).
Dengan demikian, Johann Gottfried Hupperts yang pernah menjadi missionaris di Banjarmasin, Sungei Apui, Bethabara, Gohong, Kahayan dan Bintang, mati terbunuh sebagai operator pertambangan di Kalangan, 2 Mei 1859, di awal Perang Banjar. [*MM*].
PERINGATAN !!!!
SAYA TIDAK MENGIZINKAN SIAPAPUN MEMPUBLIKASIKAN ATAU MENGALIHKAN TULISAN SAYA KE MEDIA YANG LAIN, MISALNYA MENJADI CONTENT YOU TUBE, TIK-TOK, DLL.).
Komentar
Posting Komentar