KAMPUNG PALINGKAU YANG MEMUKAU
Kampung yang terletak di bagian kiri mudik Sungai
Murong itu bernama Palingkau. Dalam peta Schwaner (1853) kampung
ini bernama Kampung Sungei Palingkau. Tampaknya pemukiman awal didirikan di
sekitar muara Sungei Palingkau, sungai kecil yang bermuara di Sungai Murong. Palingkau dalam bahasa Dayak Ngaju adalah
nama jenis bambu. Mungkin karena ditumbuhi banyak bambu Palingkau maka sungai
diberi nama Sungei Palingkau yang akhirnya menjadi nama kampung.
Missionar Becker tiba di kampung ini pada tahun 1840. Ia menggambarkannya
sebagai “kampung sepi yang mirip reruntuhan“ (Kriele 1915: 42). Ia menyebutnya
demikian karena banyak rumah-rumah yang tidak terawat karena para pemiliknya
tinggal lama di sawah yang letaknya jauh dari kampung.
Pada tahun 1857, atas perintah dari Gezahebber (Penguasa Sipil Belanda) dilakukan penataan kampung. Dimulai dengan pembangunan jalan kampung dengan lebar 11 kaki atau sekitar 3,6 meter. Di sebelah kiri dan kanan jalan di tanam pohon kelapa dan pinang. Dengan demikian maka ada jalan menghubungkan rumah ke rumah. Penataan jalan juga diikuti dengan penataan jalan atau titian yang menghubungkan rumah penduduk dengan sungai. Pada saat itu dilaporkan ada pembangunan 20 rumah baru. Missionar Zimmer menulis, “Kami sudah dapat berkunjung dari rumah ke rumah dengan berjalan kaki, tidak lagi menggunakan perahu“. Jalan yang dibangun itu cukup panjang, untuk tiba di ujung jalan memerlukan waktu 15 menit berjalan kaki. Kampung Palingkau menjadi cantik dan tertata rapi, sehingga Zimmer mengatakan, “Palingkau sayangku menjadi seperti kota kecil“ (BRMG 1858: 17).
Dalam satu lukisan diperlihatkan di Kampung Palingkau pada pertengahan abad
19 telah berdiri semacam pesanggrahan tempat Gezahebber tinggal, dengan
pelabuhannya yang tampak kokoh. Tampak juga lanting atau rumah terapung milik para pedagang dan perahu-perahu
yang terapung hilir-mudik sungai. [*MM*].
Komentar
Posting Komentar