Postingan

DAYAK AGABAG (Bagian 2)

Gambar
  Ada beberapa sumber yang dapat dipakai untuk mengetahui apa, siapa dan bagaimana orang Agabag. Salah satunya adalah tulisan-tulisan pada masa kolonial oleh para pegawai pemerintah kolonial. Tentu saja tulisan itu harus dibaca dengan kritis karena ditulis sesuai dengan semangat zaman pada saat proses penulisan berlangsung, juga berdasarkan sudut pandang, kepentingan dan selera tertentu dari penulisnya. Tulisan-tulisan itu tidak murni atau bebas nilai. Terkadang di dalamnya memuat tudingan, penghakiman atau penilaian semena-mena. Salah satu buku yang memuat informasi tentang Dayak Agabag pada masa kolonial adalah ๐‘ถ๐’๐’” ๐’Ž๐’๐’๐’Š ๐‘ฐ๐’๐’…๐’Š๐’†: ๐‘ผ๐’Š๐’• ๐‘ซ๐’‚๐’‹๐’‚๐’Œ๐’๐’‚๐’๐’…; ๐‘ฒ๐’Š๐’‹๐’Œ๐’‹๐’†๐’” ๐’Š๐’ ๐’‰๐’†๐’• ๐’๐’†๐’—๐’†๐’ ๐’—๐’‚๐’ ๐’…๐’†๐’ ๐’Œ๐’๐’‘๐’‘๐’†๐’๐’”๐’๐’†๐’๐’๐’†๐’“ ๐’†๐’ ๐’›๐’Š๐’‹๐’๐’† ๐’๐’Ž๐’ˆ๐’†๐’—๐’Š๐’๐’ˆ (Hindia Kita Yang Indah: Dari Tanah Dayak: Kehidupan Sehari-Hari Di Sekitar Para Pemburu Kepala). Dikarang oleh ๐‰. ๐‰๐จ๐ง๐ ๐ž๐ฃ๐š๐ง๐ฌ, seorang Pegawai Pangreh Praja (Controleur van het Binnenlands Bestuur).

DAYAK AGABAG (๐Ÿ)

Gambar
Dalam beberapa data tertulis dari zaman Kolonial Belanda (von Dewall 1885, Hollander 1864, Jongejans 1922) orang Agabag dikenal dengan sebutan orang ๐“๐ข๐ง๐ ๐ ๐š๐ฅ๐š๐ง atau ๐ƒ๐š๐ฎ๐. Tampaknya kata-kata itu dipungut begitu saja dari kata-kata masyarakat pesisir yaitu orang Tidung saat menjelaskan siapa orang-orang yang berada di pedalaman atau hulu-hulu sungai. Dalam bahasa Tidung, kata “Tingalan“ berarti “ketinggalan, tidak maju“, sedangkan kata “Daud” berarti “udik” atau “hulu sungai” (Idris 2017). Berdasarkan penamaan tersebut von Dewall (1855) menjelaskan bahwa di Tanah Tidung (๐‘‡๐‘–๐‘‘๐‘ข๐‘›๐‘” ๐ฟ๐‘Ž๐‘›๐‘‘๐‘’๐‘›) terdapat beberapa kelompok masyarakat yaitu: Berusu, Tidung, Tinggalan atau Daut [sic. Daud ], Mentarang, Semataloen, Punan, Kenyah dan Baaohs [sic. Bahau). Secara khusus mengenai orang Tinggalan atau Daud, von Dewall menjelaskan ๐ท๐‘’ ๐‘ก๐‘–๐‘›๐‘”๐‘”๐‘Ž๐‘™๐‘Ž๐‘›๐‘  ๐‘œ๐‘“ ๐‘‘๐‘Ž๐‘ข๐‘ก-๐‘ . ๐ท๐‘’๐‘ง๐‘’ ๐‘ค๐‘–๐‘™๐‘‘๐‘’ ๐‘ ๐‘ก๐‘Ž๐‘š โ„Ž๐‘œ๐‘ข๐‘‘๐‘ก ๐‘ง๐‘–๐‘โ„Ž ๐‘œ๐‘ ๐‘–๐‘› ๐‘‘๐‘’ ๐‘๐‘œ๐‘ฃ๐‘’๐‘›๐‘™๐‘Ž๐‘›๐‘‘๐‘’๐‘› ๐‘ฃ๐‘Ž๐‘› ๐‘‘๐‘’ ๐‘Ÿ๐‘–๐‘ฃ๐‘–

GROOT DAYAKSCH HUIS, RUMAH BESAR ORANG DAYAK (8)

Gambar
  7. SEBUAH LEGENDA DAYAK     Satu-satunya barang rumah tangga berharga yang ditemukan di rumah Dayak adalah apa yang disebut martavanen, tempayan atau belanga, guci yang sangat mirip dengan guci Cologne, kecuali bukaannya yang lebih sempit dan bagian perutnya yang lebih lebar. Mereka memiliki telinga tegak, biasanya berwarna kuning kecokelatan, mengkilap di dalam dan di luar dan ditandai dengan ular hias yang indah dan iguana, yang mengelilingi bagian perut dengan karya yang sedikit terangkat. Berdasarkan ukuran, bentuk dan hiasan, mereka dibagi menjadi beberapa jenis dengan nama masing-masing, sementara setiap jenis memiliki jantan dan betina. Schtvaner membuat daftar jenis, Perelaer 12, Grabowsky (Zeitschrift fรผr Ethnologie 1885, hlm. 121) memberikan deskripsi dan ilustrasi dari 18 jenis. Harganya berkisar antara 8 - 3000 gulden masing-masing dan beberapa dijual tanpa harga.      Keinginan orang Dayak   untuk memiliki satu atau lebih dari ini sangat besar, seluruh aktivitas

GROOT DAYAKSCH HUIS, RUMAH BESAR ORANG DAYAK (7)

Gambar
  (Sumber:  Insulinde in  W oord en  B eeld ,      door  H enri  Z ondervan ,  “ Groot  D ayaksch  H uis ” ,  te  G roningen  B ij  J.  B. Wolters  U . M.  1915)   6. LITERATUUR  C. A. L. M. SCHWANER, Borneo, Beschrijving van het    stroomgebied van den Barito , dln., Amsterdam 1853—1854.    P. J. Veth, Borneo’s Wester-Afdeeling, dln ., Zaltbommel 1854—1856.    35    M. T. H. Perelaer, Ethnographische beschrijving der    Dayak     s, Zaltbommel 1870.    Carl Bock, Unter den Kannibalen auf Borneo , Jena 1882.    Carl Bock, Reis in Oost- en Zuid-Borneo , ’s Gravenhage 1887.    H. LING Roth, The natives of Sarawah and North    Borneo , dln., Londen 1896.    H. Breitenstein, 21 Jahre in Indien , Erster Theil,    Borneo. Leipzig 1899.    A. W. Nieuwenhuis, In Centraal-Borneo, Leiden 1901.    A. W. Nieuwenhuis, Quer durch Borneo , dln., Leiden    1904—1907.    Encyclopaedie van Nederlandsch-Indiรซ, dl. artikel Dayak    s.    S. W. Tromp, Een reis naar de Bovenlanden van Koet

GROOT DAYAKSCH HUIS, RUMAH BESAR ORANG DAYAK (6)

Gambar
    (Sumber:  Insulinde in  W oord en  B eeld ,      door  H enri  Z ondervan ,  “ Groot  D ayaksch  H uis ” ,  te  G roningen  B ij  J.  B. Wolters  U . M.  1915)     4. TEMPAT TINGGAL  Sementara suku Dayak yang masih mengembara hanya tinggal di gubuk-gubuk setinggi beberapa meter, sebagian besar suku yang sudah menetap memiliki rumah-rumah kayu yang besar. Di masa lalu, rumah-rumah ini biasanya terletak di atau dekat tepi sungai kecil, di tempat yang tidak terlalu mudah dijangkau dan sepenuhnya tertutup oleh pagar yang kokoh. Pada masa-masa baru, banyak orang Dayak     yang menetap lebih dekat ke sungai-sungai besar dan pagar pembatas sebagian besar ditinggalkan. Biasanya, seluruh anggota suku tinggal di satu rumah; jika medan memungkinkan, lebih dari satu rumah dapat ditemukan. Untuk perlindungan dari musuh, rumah-rumah dibangun tinggi di atas permukaan tanah.     Nieuwenhuis membedakan tiga gaya bangunan yang berbeda; contohnya adalah rumah-rumah suku Kayan di Mahakam, yang