BIOSKOP PANALA (1)

Bioskop Panala

“Bioskop belum ada di sini. Palangka Raya hanya berupa hutan ‘tumih‘ dan ‘garunggang‘ dan belukar ‘masisin‘. Demikian sederet kata dari Badar Sulaiman Usin, penyair Kalimantan Tengah, untuk menggambarkan betapa sepi kota Palangka Raya pada tahun 60-an.
Diperkirakan sekitar awal tahun 1970, tepat di sudut pertemuan Jalan Kinibalu dan Jalan Tangkiling (sekarang Jalan Tjilik Riwut), tidak jauh dari Bundaran Besar yang masih berupa kubangan air, berdirilah salah satu simbol peradaban modern di kota Palangka Raya yaitu "Gedung Bioskop Panala Theater". Pada masa sekarang kawasan ini telah berganti nama menjadi Palangka Raya Mall (PALMA).
Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Tengah dengan sengaja membangun gedung bioskop yang diberi nama “Panala” sebagai sarana dan tempat hiburan bagi masyarakat Kota Palangka Raya. Secara literal dalam bahasa Dayak Ngaju, “Panala” berarti “bulan”.



***
Sebenarnya pada tahun 60-an sudah ada cikal-bakal gedung bioskop yaitu “Gedung Ureh”. Oleh pemiliknya, Bapa Gading atau Midel Binti seorang Dayak asal Bukit Rawi, gedung ini kerap kali dijadikan sebagai tempat pemutaran film, namun bukan atau lebih tepatnya belum menjadi gedung bioskop permanen. Dulu pada gedung ini ada tulisan besar sehingga dapat terbaca dari jauh. Tulisan dalam bahasa Dayak Ngaju yaitu "MAMUT MAMEH MENTENG UREH" yang secara harafiah berarti "gagah berani" Karena itu gedung ini disebut "Gedung Ureh".
Saya sempat berjumpa dengan seorang kakek berusia 80 tahun di hulu Kahayan, ia masih bisa bercerita tentang kapan pertama kali ia menonton layar gambar hidup atau film yaitu di Gedung Ureh, yang pada waktu itu sering diplesetkan menjadi “Gedung Ureh Mameh”. Kata “ureh” dalam bahasa Dayak Ngaju berarti “gagah-berani”, namun bila ditambah dengan kata “mameh” berarti “berani tapi bodoh”, namun juga dapat berarti "candaan yang bodoh".
Paska tahun 1965, gedung itu sempat dijadikan sebagai tempat penahanan mereka yang diduga terlibat Gerakan Tiga Puluh September (G30S). Pada masa kini, tempat “Gedung Ureh” telah menjadi Markas Kodim 1016/Palangka Raya, di Jalan Ahmad Yani No.80, Palangka Raya.
Setelah Gedung Ureh, masyarakat Kota Palangka Raya mengenal “Misbar“ yang terletak di Jalan Darmosugondo, Pahandut, didirikan pada lapangan atau kawasan terbuka yang dikenal dengan nama Bukit Ngalangkang.
Masih berbentuk gedung terbuka tanpa atap, diberi nama Bioskop Misbar (Gerimis Bubar) karena kalau turun hujan maka penonton akan bubar. Di kemudian hari, Bioskop Misbar ini menjadi gedung beratap dengan nama Bioskop Ampera dan kemudian berubah nama menjadi Bioskop Diana. Pemilik bioskop ini adalah Bapa Sida atau Waldus Sandy yang pernah menjabat sebagai Walikota Palangka Raya ketiga.
***
Posisi Gedung Bioskop Panala sangatlah strategis karena tidak jauh dari perumahan penduduk yang sedang berkembang yaitu Bukit Hendu (sekarang menjadi Bukit Hindu), Tunjung Nyaho, Kehutanan dan Panahan, serta berdekatan dengan tempat kediaman gubernur yang sekarang diberi nama Istana Isen Mulang. Sudah tentu dan pasti, Gedung Bioskop Panala tepat berhadapan dengan ikon sentral kota yaitu Bundaran Besar.
Berbeda dengan bioskop pada masa kini yang pada umumnya menyatu dengan mall atau pertokoan, Gedung Bioskop Panala berdiri sendiri. Kendatipun demikian di sekitar gedung terdapat banyak warung tempat makan dan minum. Ada warung yang berjualan bakso, dan soto. Juga ada Warung Padang. Konon, inilah Warung Padang pertama di Kota Palangka Raya.
Juga ada warung berjualan es campur. Ibu Rindang yang pada tahun 85-an bersekolah di SMA bercerita bahwa dulu Bioskop Panala adalah tempat mereka nongkrong. Selain karena tempat menonton film juga karena di sana ada warung es campur yang enak, sehingga menjadi tempat favorit anak SMA.
Ada juga warung atau “rombong“ tempat berjualan kopi, teh, dan berbagai macam kue. Di warung ini seorang teman saya yang bernama Mansyur suka curang. Mungkin karena lapar, ia dapat dengan cepat makan empat atau lima kue dalam waktu yang sangat singkat. Celakanya, saat membayar ia hanya mengatakan hanya makan satu kue.
Suatu ketika ia bernasib naas, pemilik warung mengetahui perbuatannya. Tangannya dipelintir ke belakang dan ia dipaksa untuk membayar, namun ia sudah tidak punya uang lagi. Karena tidak tega melihat ia meringis kesakitan, kami para temannya urunan membayar harga kue yang dimakannya kepada pemilik warung.
Sejak saat itu, nama teman kami itu tidak lagi Mansyur, sudah berubah menjadi “Mancur“ singkatan dari ”Main Curang“. - ---- (Bersambung)

CATATAN: SAYA TIDAK MENGIZIN SIAPAPUN UNTUK MENERBITKAN TULISAN SAYA INI DI MEDIA MANAPUN, ATAU MENGALIHKANNYA KE BERBAGAI MEDIA LAIN MISALNYA YOU TUBE, TIK-TOK, INSTAGRAM DLL.. SILAKAN SHARE ATAU BERBAGI DENGAN MENEKAN TOMBOL SHARE.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGKHOTBAH DAN BUDAK-BELIAN, NYANYIAN PARODI

RIWAYAT HIDUP DAN KARYA AUGUST FRIEDERICH ALBERT HARDELAND

MENGENANG BETHABARA