Postingan

KEHIDUPAN RUWET MISSIONARIS HUPPERTS (1)

Gambar
    JOHANN GOTTFRIED HUPPERTS atau HUPPERTS adalah sosok penting dalam sejarah awal pekerjaan missi di wilayah Borneo Selatan dan Tengah pada abad 19. Setelah tinggal beberapa saat di Batavia, pada tanggal 3 Desember 1836 , bersama dengan  missionar Becker dan Kr ü smann, Hupperts tiba di Banjarmasin (Kriele 1912: 22). Tidaklah seperti yang dikatakan oleh Fridolin Ukur (1960:16), mereka tidak langsung ditempatkan atau bekerja di pedalaman.  Mereka tinggal sekitar satu setengah tahun di Banjarmasin sebelum menetap di tengah orang-orang Dayak di pedalaman Borneo Tengah. Hupperts,  dalam buku hariannya ( tagebuch ) yang sampai sekarang tersimpan rapi di perpustakaan Wuppertal-Jerman,  mencatat bahwa pada hari Minggu 15 Januari 1837 , missionar Barnstein telah membaptis 3 orang perempuan yaitu: Seorang perempuan Dayak istri dari seorang  S ersan  M ayor  Belanda  dengan nama baptis Diederika Cornelia. Seorang perempuan Melayu istri seorang pegawai Belanda van der  Linden diberi

KAPAL UAP

Gambar
  Kapal Uap ( Stoomboot ) adalah sesuatu yang baru bagi masyarakat Dayak. Sebelumnya mereka hanya mengenal kapal layar yang digerakan angin dan perahu sampan ( jukung ) yang bergerak karena tenaga dayung manusia.  Mereka menyebutnya Kapal Hasep yang secara hurufiah berarti "Kapal Berasap". Tampaknya penamaan itu karena mereka melihat asap hitam tebal yang keluar dari cerobong asap kapal.  Pada saat Kapal Uap pertama kali datang ke Sungei Murong, di wilayah Pulau Petak, orang Dayak Ngaju memandangnya penuh kekaguman. Mereka heran melihat  perahu besar yang dapat bergerak cepat tanpa ada tangan manusia menggerakkannya.  Istri Dambong menyembelih dan mengorbankan seekor ayam jantan untuk menghormati kedatangan kapal itu di kampung mereka (BRM 1846: 402). Sementara di Bukit Rawi, Kahayan, Kepala Suku meminta seekor kerbau kepada Residen  sebagai kurban kepada dewata air (jata) yang marah  karena Kapal Uap Tjipanas masuk ke Sungai Kahayan (MRZG  Februari 1857:31).

MENGENANG BETHABARA

Gambar
  Sangat gembira karena mendapat satu buku dalam bahasa Jerman dengan judul “ Neuere Geschichte der Evangelischen Mission-Anstalten zu Bekehrung der Heiden in Ost-Indien: aus den eigenhändigen Aufsätzen und Briefen der Missionarien ” (Sejarah Terkini Pendirian Misi Injili untuk Pertobatan Bangsa-Bangsa di Hindia Timur: dari  Tulisan Tangan dan Surat Para Missionaris).   Buku yang dicetak pada tahun 1840 ini sangat penting bagi saya karena memuat Surat dan Laporan ( Briefe und Berichte ) dari Misionar Julius Berger (selanjutnya disebut Berger) yang diutus oleh Dänisch-Halliche Mission (DHM), satu lembaga misi yang berpusat di Denmark untuk melakukan Pekabaran Injil di Kalimantan. Tampaknya pada waktu itu terdapat semacam kerjasama antara DHM dan Rheinische Missionsgesellschaft   (RMG) atau Zending B armen.   Fridolin Ukur (1960: 19, 1971:88) menyebutkan bahwa Berger melayani di satu stasi (pangkalan pekabaran Injil) yang bernama Bethabara.  Stasi pertama yang

PAWANG HUJAN

Gambar
  Perihal "pawang hujan" itu sesuatu yang lumrah, lazim atau biasa di negeri bekas jajahan ini. Bahkan dengan sangat baik di-bahasa-kan sebagai "kearifan lokal" atau "kebudayaan" kita. Karena urusan penting, saya pernah mampir di rumah seorang teman yang sedang mengadakan hajatan perkawinan anak perempuannya. Ia seorang yang "well educated" lulusan universitas Luar Negeri. Namun, secara tidak sengaja saya melihat di atap rumahnya tergeletak kain basahan dan celana dalam. Yang tidak lazim itu adalah ketika sang pawang menampilkan diri sehingga membuat para bule [dan kita semua] terherman-herman. Konon menurut SOP-nya, pawang itu mestinya menyembunyikan diri. Tidak elok mempertontonkan diri di depan orang banyak. Karena di atas langit masih ada langit. Permasalahannya, negeri ini perlu tontonan atau hiburan, agar rakyat yang sulit membeli minyak goreng ini lupa akan penderitaannya, agar orang-orang yang tanah-airnya di kelilingi jutaan pohon k

RITUAL POLITIK DI TITIK NOL

Gambar
  Bagaikan pertunjukan teater. Presiden Jokowi menerima satu persatu utusan dari 34 provinsi yang membawa air dan tanah dari tempat masing-masing. Penyiar televisi yang meliput kegiatan menyebutkan acara itu sebagai prosesi Penyatuan Tanah dan Air Nusantara. Air dan tanah disatukan dalam satu wadah semacam gentong yang disebut Bejana Nusantara. Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menyebutkan kegiatan tersebut sebagai “bentuk kebhinekaan dan persatuan” bangsa Indonesia. Dari pinggiran Kota Palangka Raya, kota yang pernah digadang-gadang oleh Presiden Soekarno menjadi Ibu Kota Negara, saya menatap nanar tayangkan kegiatan yang disebut “prosesi” itu. Bersamaan dengan itu, pikiran saya mengembara ke tulisan Clifford Geertz (1980) yang berjudul “Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali". Dalam buku itu, Geertz mengatakan bahwa kekuasaan simbolik itu sangat penting dan untuk membangun kekuasaan semacam itu perlu dilakukan berbagai macam upacara, prosesi atau ritual. D