Postingan

PAWANG HUJAN

Gambar
  Perihal "pawang hujan" itu sesuatu yang lumrah, lazim atau biasa di negeri bekas jajahan ini. Bahkan dengan sangat baik di-bahasa-kan sebagai "kearifan lokal" atau "kebudayaan" kita. Karena urusan penting, saya pernah mampir di rumah seorang teman yang sedang mengadakan hajatan perkawinan anak perempuannya. Ia seorang yang "well educated" lulusan universitas Luar Negeri. Namun, secara tidak sengaja saya melihat di atap rumahnya tergeletak kain basahan dan celana dalam. Yang tidak lazim itu adalah ketika sang pawang menampilkan diri sehingga membuat para bule [dan kita semua] terherman-herman. Konon menurut SOP-nya, pawang itu mestinya menyembunyikan diri. Tidak elok mempertontonkan diri di depan orang banyak. Karena di atas langit masih ada langit. Permasalahannya, negeri ini perlu tontonan atau hiburan, agar rakyat yang sulit membeli minyak goreng ini lupa akan penderitaannya, agar orang-orang yang tanah-airnya di kelilingi jutaan pohon k

RITUAL POLITIK DI TITIK NOL

Gambar
  Bagaikan pertunjukan teater. Presiden Jokowi menerima satu persatu utusan dari 34 provinsi yang membawa air dan tanah dari tempat masing-masing. Penyiar televisi yang meliput kegiatan menyebutkan acara itu sebagai prosesi Penyatuan Tanah dan Air Nusantara. Air dan tanah disatukan dalam satu wadah semacam gentong yang disebut Bejana Nusantara. Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo menyebutkan kegiatan tersebut sebagai “bentuk kebhinekaan dan persatuan” bangsa Indonesia. Dari pinggiran Kota Palangka Raya, kota yang pernah digadang-gadang oleh Presiden Soekarno menjadi Ibu Kota Negara, saya menatap nanar tayangkan kegiatan yang disebut “prosesi” itu. Bersamaan dengan itu, pikiran saya mengembara ke tulisan Clifford Geertz (1980) yang berjudul “Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali". Dalam buku itu, Geertz mengatakan bahwa kekuasaan simbolik itu sangat penting dan untuk membangun kekuasaan semacam itu perlu dilakukan berbagai macam upacara, prosesi atau ritual. D

Hausmann Baboe dalam Koran Sin Tit Po

Gambar
  Dalam Sin Tit Po 16/17 Desember, surat kabar yang diterbitkan pada 2 Desember  1929  oleh sejumlah warga  Tionghoa-Indonesia  di  Surabaya , diberitakan bahwa Hausmann Baboe sebagai ketua Dajaksbond di Kuala Kapuas, Kalimantan sedang berada di Surabaya.  Dalam wawancaranya dengan wartawan surat kabar itu Hausmann Baboe menjelaskan bahwa orang Dayak bukanlah orang liar yang belum mengenal peradaban. Menurutnya itu adalah pandangan yang salah karena sebagian besar orang Dayak sudah beradab dan memiliki agama, baik Kristen maupun Islam. Orang Dayak tidak ingin terkebelakang, mereka ingin sama seperti orang-orang yang berada di pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia. Sekarang orang Dayak telah mengorganisir satu perkumpulan  yang disebut Dayaksbond , yang kini beranggotakan ribuan orang. Perkumpulan ini bertujuan mempercepat kemajuan orang Dayak. Sejumlah sekolah telah didirikan oleh Persatuan Dayak, salah satunya H.I.S.P. di Boven Dayak dan semacam sekolah Inlandsche kelas

BUKU TENTANG SAREKAT DAYAK

Gambar
  Seorang ba yi yang kurus-kering dan kurang gizi . Itulah gambaran yang muncul saat membaca   buku tipis 53 halaman ini. Ditulis oleh Asnaini dari Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Wilayah Kalimantan, Pontianak Kalimantan Barat, pada tahun 2011. Umumnya buku terbitan pemerintah, buku ini kesannya ditulis apa adanya sebagai bukti pertanggungjawaban keuangan atau laporan proyek. Sehingga jangan berharap banyak terdapat kebaruan (novelty) data, informasi atau pemikiran. Seperti yang tercantum dalam judul “ Sarekat Dayak: Peranannya Dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan di Kalimantan Tengah ” buku ini dibebani target  historiografi khas Indonesia yang membayangkan bahwa penulisan sejarah itu selalu berkaitan dengan merebut dan mempertahankan kemerdekaan dari penjajah Belanda. Pada titik inilah kegagalan buku ini yaitu ingin membuktikan bahwa terdapat peranan Sarekat Dayak dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan di Kalimantan Tengah. Tidak ada aksi berdarah

PERINTAH AGUNG

Gambar
Ayolah anjing-anjing menggigit menggonggong menjilatlah  untuk aku majikanmu Ayolah badut-badut melawak membanyol meluculah untuk aku tuanmu Hei...kamu ! Iya kamu...! kamu dan kamu.. dengarkanlah SEPULUH SABDA jadilah pelayan yang sungkan melawan jadilah buruh yang tak enggan disuruh jadilah budak yang tak berontak jadilah hamba yang setia jadilah kuli yang mengabdi jadilah babu yang lugu jadilah batur yang mudah diatur jadilah jongos yang polos jadilah pesuruh yang tak pernah kisruh jadilah kacung yang tak pernah untung Ringkasnya ! jadilah bedebah yang selalu pasrah Teriakanlah kata: ya ! ya ! ya ! untuk semua perkataanku... aku...aku...aku...tuanmu satu kali lagi...tuanmu Eh...untuk kamu-kamu... si lidah panjang si bibir manis si mulut madu si muka jelita kawanan para penjilat gerombolan pencari muka aku perlu kamu-kamu aku harus membesarkan egoku sebesar-besarnya...sehingga yang lainnya j

PENGKHOTBAH DAN BUDAK-BELIAN, NYANYIAN PARODI

Gambar
PENGKHOTBAH DAN BUDAK-BELIAN NYANYIAN PARODI “Itah belum hong kalunen kilau huang jangkut wei Nupin itah kanih kate, puna rami sanang wei Oloh Barat panjang bitie, hai penang buntis aie Amun bue hong kamburi,  ela mikeh tejep wei” Lagu Parodi pasti akan bikin sakit hati. Karena hanya nada lagu yang dipakai tetapi kata-katanya adalah “plesetan” atau “plintiran” bahkan “ejekan” atau “cemohan”. Waktu kecil saya pernah ikut-ikutan  memplesetkan Nyanyin Ungkup atau Nyanyian Jemaat yang biasa dinyanyikan di gereja. Hal itu tentu saja membuat marah orangtua, paman-bibi, kakek-nenek kami yang adalah para Penatua dan Diakon. Lagu itu diambil dari Nyanyin Ungkup (Nyanyian Jemaat – Bahasa Dayak Ngaju) No. 288  Yang kemudian diplesetkan sesuka hati dengan makna yang jauh berbeda. Dulu saya pernah mengenal beberapa mahasiswa usil  yang melakukan kreativitas nakal dengan Kidung Jemaat No. 424, yaitu menghilangkan huruf “r” pada kata “bersinar”. Hasilnya adalah efek jenaka yaitu

Pawel Kuczynski

Gambar
SEORANG BUDAK DAN BELENGGU EMASNYA Gambar yang menampar. Lukisan satir yang menyindir. Ilustrasi yang provokatif. Itulah sederet kalimat yang terucap ketika menatap “Slave Painting Chains Gold,” yang dihasilkan oleh Pawel Kuczynski, seorang pelukis hebat dari Polandia. Saya menyebut karya-karya Pawel Kuczynski sebagai “Lukisan-Lukisan Pembebasan”, karena ketika saya menatap lukisan-lukisannya yang nyinyir, berkesan cerewet itu, maka saya dipaksa untuk bertanya, “Apa yan g salah dengan dunia ini?” Ketika seseorang berani bertanya, itulah awal pembebasan. Lihatlah lukisan-lukisannya tentang smartphone dan sosial media....amboi sangat menohok ulu hati dan menyengat kesadaran kita. Kita dibuat terpojok dan sangat malu, tapi dengan cara yang cerdas. “Slave Painting Chains Gold,” adalah salah satu lukisan Pawel Kuczynski yang sering saya pakai dengan tujuan untuk membangun kesadaran dalam benak para murid. Lukisan ini berbicara tentang hitam-legam kehidupan seorang budak-bel