Postingan

PANALA

Gambar
𝐏𝐀𝐍𝐀𝐋𝐀   Kosakata ini nyaris tidak dikenal oleh orang Dayak Ngaju masa kini. Beberapa orang yang telah berambut putih, dan berusia lebih dari setengah abad yang saya jumpai di kota Palangka Raya, pun hanya menggelengkan kepala sebagai tanda tidak tahu ketika saya bertanya apa arti kata “panala“. Jawaban receh, namun benar adanya, yang saya dapatkan adalah, “Itu kan nama bioskop jadul yang sekarang telah menjadi Palangka Raya Mall (PALMA). *** Kata “panala“ memang bukanlah sesuatu yang umum, dan bukan merupakan bagian dari bahasa Dayak Ngaju sehari-hari. Kata ini merupakan bagian dari bahasa sakral (𝒃𝒂𝒔𝒂 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒊𝒂𝒏𝒈) yaitu bahasa para imam Dayak Kaharingan saat melakukan ritual. Secara literal, kata “panala“ berarti “bulan“. Penggunaan kata “panala” dapat kita dengar saat para imam Dayak Kaharingan melakukan ritual “𝒎𝒂𝒏𝒂𝒘𝒖𝒓“ yaitu ritual menabur beras untuk berkomunikasi, memohon doa atau meminta pertolongan para sosok ilahi. Dalam formula doa yang terdiri da

Catatan Perjalanan

Gambar
KOPIAH TANPA AGAMA:   STRATEGI DAN ADAPTASI BUDAYA DI TANAH ANGKOLA (Oleh: Marko Mahin) Berkunjung ke Padangsidimpuan dan Sipirok, serta bertemu dengan sekelompok masyarakat yang menyebut dirinya orang Angkola, mengajar saya bahwa Batak itu tidak selalu keras, kasar, dan meledak-ledak, serta tidak harus beragama Kristen. Logat bahasa orang Angkola t erdengar lebih lembut bila dibandingkan orang Toba , namun terdengar lebih tegas jika dibandingkan dengan orang Mandailing. Orang Angkola umumnya beragama Islam dan sebagian kecil beragama Kristen. Masuknya agama Islam ke Padangsidimpuan dan Sipirok selain melalui jalur damai perdagangan juga melalui jalur pedang pasukan Padri. Agama Kristen masuk melalui jalur perkebunan kopi milik pemerintah kolonial Belanda. Gerrit van Asselt, seorang missionaris dari Jemaat Ermelo, Belanda, terlebih dahulu menjadi opkooper atau pembeli kopi di pasar Sipirok, sehingga dapat melakukan baptisan pertama atas dua orang Batak pada 1861. Hadirnya agama Isl
Gambar
Perjumpaan masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dengan konsepsi nasionalisme salah satunya melalui keberangkatan para anak muda untuk bersekolah di luar pulau Kalimantan; Makassar, Surabaya, Batavia dan Bandung. Adalah Mahir Mahar, anak Dayak kelahiran Kampung Pangkoh Kahayan Muara, setelah menamatkan Meer Uit gebreid Lager Onderwijs (MULO) di Banjarmasin, pada tahun 1930-an pergi ke Makassar untuk sekolah di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) atau Sekolah Pendidikan Pribumi untuk Pegawai Negeri Sipil. Ketika di Makassar, Mahir Mahar muda giat menjadi aktivist INDONESIA MOEDA yaitu organisasi pemuda yang diresmikan tanggal 31 Desember 1930, merupakan penggabungan antara organisasi Jong Java, Pemuda Indonesia dan Jong Sumatera. Sebagai organisasi dengan haluan nasionalistik ini, Indonesia Moeda secara tegas mengakui Sumpah Pemuda, dan menjunjung bahasa Indonesia dan lagu Indonesia Raya, dan bendera Merah Putih sebagai identitas organisasi ini. Walaupun organisasi ini

KAMPUNG PALINGKAU YANG MEMUKAU

Gambar
  Kampung yang terletak di bagian kiri mudik Sungai Murong itu bernama Palingkau. Dalam peta Schwaner (1853)  kampung ini bernama Kampung Sungei Palingkau. Tampaknya pemukiman awal didirikan di sekitar muara Sungei Palingkau, sungai kecil yang bermuara di Sungai Murong.  Palingkau dalam bahasa Dayak Ngaju adalah nama jenis bambu. Mungkin karena ditumbuhi banyak bambu Palingkau maka sungai diberi nama Sungei Palingkau yang akhirnya menjadi nama kampung. Missionar Becker tiba di kampung ini pada tahun 1840. Ia menggambarkannya sebagai “ kampung sepi yang mirip reruntuhan“ (Kriele 1915: 42). Ia menyebutnya demikian karena banyak rumah-rumah yang tidak terawat karena para pemiliknya tinggal lama di sawah yang letaknya jauh dari kampung. Pada tahun 1857, atas perintah dari Gezahebber (Penguasa Sipil Belanda) dilakukan penataan kampung.  Dimulai dengan pembangunan jalan kampung dengan lebar 11 kaki atau sekitar 3,6 meter.  Di sebelah kiri dan kanan jalan di tanam pohon kelapa dan pinan

KEHIDUPAN RUWET MISSIONARIS HUPPERTS (2)

Gambar
Pada 1841, Hupperts juga pernah mencoba merintis pembukaan pos Pekabaran Injil di Gohong, Kahayan (sekarang desa Gohong, Pulang Pisau). Di sana ia mendapat tantangan keras dari Tamanggung Singa Pati , kepala suku Dayak yang berkedudukan di Petak Bahandang-Buntoi . Tamanggung Singa Pati  tersinggung karena Hupperts lewat begitu saja melintas kampungnya dan berencana mendirikan sekolah di Gohong yang terdapat dibagian hulu, padahal ia sudah terlebih dahulu menghadap Residen di Banjarmasin meminta agar dikirimkan guru dan didirikan sekolah di tempatnya.  Dengan pengaruhnya, ia menghalangi dan mempersulit pekerjaan para missionaris, sehingga pada tahun 1845 para misionaris pergi keluar meninggalkan Gohong mencari tempat lain yang lebih terbuka dengan kedatangan mereka (Von Rohden, Geschichte, 60, Witschi 1942: 16). Selepas wafatnya Berger pada 1845, pelayanan di stasi Bethabara diserahkan kepada Missionar Hupperts yang sebelumnya melayani di Sungei Apui . Selama melayani di Bethabara atau