Postingan

𝐆𝐄𝐃𝐔𝐍𝐆 𝐁𝐈𝐎𝐒𝐊𝐎𝐏 𝐏𝐀𝐍𝐀𝐋𝐀 𝐓𝐇𝐄𝐀𝐓𝐄𝐑 (2)

Gambar
Gedung Bioskop Panala tidaklah dirancang dan dibangun oleh warga sipil, tetapi dirancang dan dibangun oleh para anggota TNI Angkatan Darat  Kodam/XI Tambun Bungai, secara khusus dari Detasemen Zeni Bangunan (Denzibang). Dalam buku Pantjawarsa Supersemar yang diterbitkan pada tahun 1972 dilaporkan bahwa hingga tahun 1971,  telah dilakukan “Operasi Bhakti”  yaitu dalam usaha membantu mensukseskan pelaksanaan Pelita Daerah, Kodam XI/Tambun Bungai telah melaksanakan beberapa Projek Daerah dengan hasil antara lain: Gedung Bioskop 'PANALA THEATRE". Gedung Wanita dimana pembiayaanya dipikul bersama antara Kodam XI/Tambun Bungai dengan Pemerintah Daerah. Gedung "OPERATION-ROOM" PEMDA. masih dalam taraf pelaksanaan. Gedung Sanggar Pramuka, masih dalam taraf penjelesaian. Gedung Mesdjid, masih dalam taraf penjelesaian. Gedung Perpustakaan "TAMBUN BUNGAI". Laporan yang disampaikan oleh Kol. Infantri J.M. Soerachman itu senada dengan laporan yang disa

BIOSKOP PANALA (1)

Gambar
Bioskop Panala “Bioskop belum ada di sini. Palangka Raya hanya berupa hutan ‘tumih‘ dan ‘garunggang‘ dan belukar ‘masisin‘. Demikian sederet kata dari Badar Sulaiman Usin, penyair Kalimantan Tengah, untuk menggambarkan betapa sepi kota Palangka Raya pada tahun 60-an. Diperkirakan sekitar awal tahun 1970, tepat di sudut pertemuan Jalan Kinibalu dan Jalan Tangkiling (sekarang Jalan Tjilik Riwut), tidak jauh dari Bundaran Besar yang masih berupa kubangan air, berdirilah salah satu simbol peradaban modern di kota Palangka Raya yaitu "Gedung Bioskop Panala Theater". Pada masa sekarang kawasan ini telah berganti nama menjadi Palangka Raya Mall (PALMA). Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Kalimantan Tengah dengan sengaja membangun gedung bioskop yang diberi nama “Panala” sebagai sarana dan tempat hiburan bagi masyarakat Kota Palangka Raya. Secara literal dalam bahasa Dayak Ngaju, “Panala” berarti “bulan”. *** Sebenarnya pada tahun 60-an sudah ada cikal-bakal gedung bioskop yaitu

BUKIT TINDUH

BUKIT TINDUH: (SEJARAH LAMA KOTA PALANGKA RAYA) BUKIT HINDU adalah satu nama kawasan di kota Palangka Raya. Ada banyak orang yang sesat berpikir bahwa dinamakan demikian karena di wilayah itu terdapat Pura Hindu Bali. Menurut Bapak TT Suan (2009) kawasan yang jalannya banyak menggunakan nama gunung ini pada mulanya oleh Bapak Tjilik Riwut diberi nama BUKIT TINDUH yang artinya kawasan yang indah-permai, sejuk dan asri. Pendapat ini sangat masuk akal mengingat kawasan tetangga dinamakan BUKIT RAYA yang artinya kawasan besar nan megah, BUKIT TUNGGAL yang artinya kawasan khusus tersendiri. Perubahan itu terjadi saat dibuat Surat Keputusan tentang penetapan status tanah dan pemberian nama kawasan. Staff bagian ketik-mengetik berpikir nama BUKIT TINDUH itu salah tulis dan menggantikannya dengan nama BUKIT HINDU. Jadi nama itu sebenarnya lahir dari hiper-koreksi, keterlanjuran, tidak sempat diralat, hingga sekarang ini. Hal ini pernah terjadi dengan seseorang teman yang bernama KAHA

MAMEH AND HUMUNG AMONG THE NGAJU DAYAK

Gambar
  MAMEH AND HUMUNG AMONG THE NGAJU DAYAK Ada beberapa diksi untuk menyebut "dungu" dalam bahasa Dayak Ngaju antara lain "mameh, bureng, paleng, buntat, humung". Tentu saja itu bukan sekedar "kata", di dalamnya terdapat "konsep" atau "pengertian" tentang apa itu "dungu" (fool). Saya ingin menelusuri konsep "dungu" melalui satu foklore orang Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah yaitu Bapa Palui. Melalui foklore Bapa Palui ini kita dapat mengetahui kenapa seseorang itu disebut "mameh, paleng, buntat, humung". *** Bapa Palui adalah seorang suami yang tidak hanya pemalas, dan naif, tetapi juga bodoh. Suatu hari, di pinggir hutan istrinya mendapat seekor rusa yang terjebak dalam perangkap. Karena terlalu berat membawa pulang seekor rusa secara utuh, maka ia memenggal leher rusa itu dan meninggalkannya di atas tunggul kayu di pinggir telaga. Sesampai di rumah, ia meminta suaminya Bapa Palui untuk mengambil kepala

PANALA

Gambar
𝐏𝐀𝐍𝐀𝐋𝐀   Kosakata ini nyaris tidak dikenal oleh orang Dayak Ngaju masa kini. Beberapa orang yang telah berambut putih, dan berusia lebih dari setengah abad yang saya jumpai di kota Palangka Raya, pun hanya menggelengkan kepala sebagai tanda tidak tahu ketika saya bertanya apa arti kata “panala“. Jawaban receh, namun benar adanya, yang saya dapatkan adalah, “Itu kan nama bioskop jadul yang sekarang telah menjadi Palangka Raya Mall (PALMA). *** Kata “panala“ memang bukanlah sesuatu yang umum, dan bukan merupakan bagian dari bahasa Dayak Ngaju sehari-hari. Kata ini merupakan bagian dari bahasa sakral (𝒃𝒂𝒔𝒂 𝒔𝒂𝒏𝒈𝒊𝒂𝒏𝒈) yaitu bahasa para imam Dayak Kaharingan saat melakukan ritual. Secara literal, kata “panala“ berarti “bulan“. Penggunaan kata “panala” dapat kita dengar saat para imam Dayak Kaharingan melakukan ritual “𝒎𝒂𝒏𝒂𝒘𝒖𝒓“ yaitu ritual menabur beras untuk berkomunikasi, memohon doa atau meminta pertolongan para sosok ilahi. Dalam formula doa yang terdiri da